Suara.com - Survei BKKBN tahun 2015 menyebut bahwa 51 persen remaja putri di perkotaan sudah melakukan hubungan seksual, sedangkan remaja putri di pedesaan sekitar 40 persen. Ketika terjadi kehamilan tidak diinginkan, mereka tidak memiliki kesempatan menjadi remaja, tetapi langsung berperan sebagai ibu dengan segala kompleksitasnya.
Padahal, seperti disampaikan Guru Besar Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM, Prof. Dr Biran Affandi SpOG(K), kehamilan terbaik adalah pada usia 20-35 di mana seorang perempuan sudah siap secara fisik dan mental. Perkawinan dini, kata dia, meningkatkan jumlah kasus atau angka kematian ibu (AKI) maupun anak saat proses persalinan.
"Survei Demografi dan Kependudukan 2012 menunjukkan sekitar 32,5% AKI terjadi akibat melahirkan terlalu tua dan terlalu muda, dan sekitar 34% akibat kehamilan karena terlalu banyak seperti memiliki lebih dari 3 anak," ujar Prof Biran pada Diskusi Ngobras "Peran KB dalam Menurunkan Angka Kematian Ibu" di Jakarta, Jumat (15/12/2017).
Hasil survei tersebut didukung dengan data dari RSCM yang menunjukkan sebagian besar kematian AKI akibat melahirkan terlalu muda. Oleh karena itu, Prof Biran mengatakan diperlukan strategi mengubah perilaku reproduksi untuk menekan AKI, yaitu dengan perencanaan kehamilan atau Keluarga Berencana (KB).
“Peran KB sangat penting dalam menurunkan AKI. Jika KB gagal, maka AKI tidak akan turun. Jangan harap AKI akan turun kalau KB jeblok,” tegas Prof. Biran.
Saat ini ada pilihan berbagai alat KB yang modern, mulai dari pil, suntik, susuk (implan), kondom, hingga sterilisasi yang aman dan nyaman, sehingga diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan KB. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) seperti IUD, implan dan sterilisasi (vasektomi dan tubektomi) adalah metode paling efektif menjarangkan kehamilan.
Namun menurut drg. Widwiono, MKes, selaku Direktur Bina Kepesertaan KB Jalur Swasta BKKBN, penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang di Indonesia masih memprihatinkan.
“BKKBN terus mendorong penggunaan MKJP, namun di tahun 2012 baru tercapai 17%, dan tahun 2017 naik menjadi 21%. Tetapi yang lebih menyedihkan, justru penggunaan suntik semakin tinggi," tambah Widwiono.