Suara.com - Sebuah kajian dari Universitas Monash di Australia menunjukkan, setidaknya ada 10 juta orang Indonesia hidup dengan kondisi disabilitas. Terlepas dari perkembangan nyata yang terlihat di berbagai bidang, orang dengan disabilitas masih menghadapi banyak tantangan dalam kehidupan sosial.
Hal tersebut terungkap dalam acara bincang-bincang tentang inklusi difabel di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Kamis, (14/12/2017).
Hadir pada acara tersebut sebagai pembicara Mohammad Ismail, seorang pengembang layanan aplikasi bahasa isyarat interaktif bernama Signteraktif, kapten Rugbi Kursi Roda Indonesia, Ni Made Ratni dan aktivis hak disabilitas dari Pusat Studi dan Pelayanan Disabilitas di Universitas Brawijaya Malang, Slamet Tohari.
Mohammad Ismail bercerita bagaimana dirinya yang terlahir tuli sempat kesusahan bila harus mengurus keperluan standar bahkan yang berkaitan dengan urusan-urusan pemerintahan.
Baca Juga: Etihad Airways Bersikap Diskriminatif pada Penumpang Disabilitas
"Saya pernah datang untuk mengurus e-KTP. Petugas memanggil normor saya. Saya tak bisa mendengar maka Saya menunggu. Padahal, nama Saya sudah dipanggil. Saya kemudian nanya apakah nomor Saya sudah dipanggil. Ternyata teman-teman tuli lain memiliki masalah yang sama bukan hanya e-KTP tapi juga di bank misalnya," kata Ismail sambil dibantu oleh juru bahasa isyarat.
Karena alasan tersebut, Ismail yang tidak memiliki latar belakang ilmu teknologi, mencari cara mengembangkan aplikasi yang dapat membantu teman-teman tuli lewat layar ponselnya.
Ismail kemudian memgirimkan ide besar tersebut pada sebuah kompetisi dan mendapatkan enam orang ikut membangun prototype aplikasi yang sekarang dikenal sebagai Signteraktif.
Sayangnya, Ismail masih melihat tantangan besar.
"Saya melihat disabel tuli di beberapa daerah contohnya di Jawa, Bali, Sumetera, Kalimantan, memiliki bahasa isyarat yang berbeda-beda. Itu adalah tantangan yang berat. Jadi kedepannya butuh manajemen untuk bahasa isyarat," tambahnya.
Baca Juga: Tenaga Fisioterapi Akan Ada di Tiap Puskesmas Layani Disabilitas
Selain itu, Ismail juga menilai bila penyebaran jumlah juru bicara bahasa isyarat masih sedikit dan hanya terbatas di pulau Jawa saja.
"Itu adalah tantangan terbesar bagi Saya supaya Signteraktif berkembang dengan cepat dan teman-teman tuli memiliki wadah juru bahasa," katanya.
Lain Ismail, lain lagi Slamet Tohari. Tohari yang memiliki kelainan pada bagian kaki menilai bila kesempatan sekolah yang laik bagi orang dengan disabilitas masih sangat minim.
Belum lagi, katanya, ada kesan bahwa penyandang disabilitas di Indonesia masih dipandang sebagai penduduk kelas dua dan tidak diberikan kesempatan yang sama.
"Belum ada diakusi tengang penyandang disabilitas. Minim juga penyandang disibalitas yang menyentuh pendidikan tinggi," ungkapnya.
Foto: bincang-bincang tentang inklusi difabel di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Kamis, (14/12/2017). [Suara.com/Risna Halidi]
Sampai pada akhirnya Slamet membuat 'jalur alternatif' bagi penyandang disabilitas yang ingin mengenyam pendidikan di bangku universitas.
"Ini mempercepat proses keadilan bagi disabilitas dari pendidikan dan memperluas pendidikan menjadi modal sosial planning bagi disabilitas," dia menambahkan.
Di Bali, ada Ni Made Retni yang hidup tanpa kaki sejak beberapa tahun lalu. Meski hidup tanpa kaki, Retni berhasil masuk tim nasional Rugbi Indonesia dan menjadi kapten serta dipanggil mengikuti seleksi bermain di tim Rugbi Kursi Roda New South Wales pada 2018 mendatang.
Keberhasilan Retni tak terlepas dari pola pikir positif yang selalu ia terapkan. Karenanya, ia selalu menekankan pentingnya rasa percaya diri bagi para penyandang disabilitas dan tidak terkubur dalam sekat-sekat keterbatasan.
"Banyak teman disabilitas yang belum percaya diri keluar rumah tanpa orangtua. Penting sekali memupuk kepercayaan diri," tutupnya.