Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) mengharapkan resistensi antibiotik, serta penggunaannya dapat menjadi kurikulum ajar bagi mahasiswa kedokteran hewan di Indonesia.
Kuliah umum ini merupakan bagian dari puncak acara "Pekan Kesadaran Antibiotik Dunia" atau "The World Antibiotic Awareness Week" yang setiap tahunnya diperingati pada tanggal 13 hingga 19 November.
"Lembaga Perguruan Tinggi merupakan mitra kerja pemerintah yang sangat berperan penting dalam penyediaan substansi berbasis bukti ilmiah, yang akan menjadi acuan bagi kebijakan pemerintah," kata Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), Syamsul Ma'arif saat memberikan kuliah umum 'Peningkatan Pemahaman dan Kesadaran Penggunaan Antimikroba yang Bijak dan Bertanggung Jawab' di Universitas Gajahmada, Sabtu (18/11/2017).
Menurutnya, Perguruan Tinggi merupakan lembaga yang akan mencetak insan-insan profesional, sehingga diharapkan Fakultas Kedokteran Hewan mampu mencetak tenaga dokter hewan yang memiliki pemahaman tentang resistensi antimikroba, dan prinsip-prinsip good veterinary practices, khususnya yang terkait dengan bagaimana antimikroba digunakan secara bijak dan bertanggungjawab.
"Kami mengajak calon dokter hewan untuk peduli dalam penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab untuk mengendalikan resistensi antimikroba di Indonesia," ungkapnya.
Lebih lanjut, Ma'arif memaparkan, saat ini laporan di berbagai negara dunia mencatat adanya peningkatan laju resistensi dalam beberapa dekade terakhir. Di sisi lain, penemuan dan pengembangan jenis antibiotik (antimikroba) berjalan sangat lambat yang artinya pola peningkatan laju resistensi sudah berbanding terbalik dengan penemuan obat antimikroba baru.
"Kita harus mulai waspada dengan adanya rilis sebuah laporan global review pada tahun 2016 yang menggambarkan model simulasi, di mana kejadian resistensi antimikroba diprediksi akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia pada 2050. Dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa per tahun, dan kematian tertinggi terjadi di kawasan ASIA," imbuh Ma'arif.
Syamsul Ma'arif berharap, kegiatan ini dapat memberikan dampak di masa depan, terutama melalui peningkatan pemahaman para mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan tentang resistensi antibiotik dan penggunaan obat.
Sehingga nantinya, para mahasiswa ini dapat menjadi agen perubahan ke arah penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggungjawab.
"Dukungan dan komitmen dari civitas akademika dalam mengangkat komponen isu resistensi ini akan dapat menjadi kontribusi nyata terhadap pengendalian resistensi antimikroba di Indonesia," tandasnya.