Sindrom Pramenstruasi Cuma Mitos?

Jum'at, 17 November 2017 | 12:32 WIB
Sindrom Pramenstruasi Cuma Mitos?
Ilustrasi PMS. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sindrom pramenstruasi (PMS) secara luas dianggap mempengaruhi sebagian besar perempuan dalam kehidupan mereka. Penderita dapat mengalami kombinasi perubahan suasana hati, kembung, nyeri payudara dan dorongan seksual yang rendah.

National Health Service (NHS) Inggris mengklaim bahwa satu dari 20 perempuan akan memiliki gejala yang cukup parah yang membuat mereka berhenti melakukan tugas sehari-hari.

Baru-baru ini, seorang psikolog perempuan mengklaim bahwa itu semua hanyalah mitos. Dia mengungkapkan alasannya bahwa PMS hanyalah contoh perempuan modern yang berjuang untuk mengatur hidup mereka.

Robyn Stein DeLuca percaya bahwa perempuan sudah didoktrin oleh buku, majalah dan komunitas medis mengenai validitas PMS dan gejala-gejalanya yang melumpuhkan.

Baca Juga: Anda Mengalami PMS? Atasi dengan Lima Cara Ini

"Kami menginternalisasi gagasan ini bahwa tubuh kita pasti salah. Kemungkinan besar perempuan hanya merasa terbebani dengan hidupnya," katanya kepada Mail Online.

Menurut DeLuca, banyak gejala yang dianggap sebagai PMS, yakni kram, kembung dan perasaan tertekan, yang mungkin merupakan tanda bahwa mereka hanya terlalu memaksakan diri mereka sendiri untuk mencapai berbagai hal dalam hidup.

Dia mengatakan bahwa PMS itu seperti menggunakan "kartu bebas penjara".

Dalam buku baru yang provokatif, 'The Hormone Myth: How Junk Science, Gender Politics And Lies About PMS Keep Women Down', dia seakan merubuhkan "mitos" lama seputar pengaruh hormon perempuan.

DeLuca mengakui, bahwa hormon memang dapat menyebabkan gejala yang tidak menyenangkan, tapi dia mengklaim bahwa efeknya tidak cukup parah sehingga bisa menghambat kehidupan. Dia juga menambahkan bahwa setiap orang merasakan hal itu, tapi hanya beberapa saat.

Baca Juga: Yoga Bisa Atasi Rasa Nyeri Akibat PMS

Namun, Joyce Harper, seorang profesor kesehatan perempuan di UCL, sangat tidak setuju dengan pendapat ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI