Suara.com - Saat mendengar kata skizofrenia, kebanyakan orang mungkin rasanya asing dengan istilah tersebut. Padahal sebenarnya hampir setiap orang pernah melihat atau memiliki pengalaman sendiri dengan skizofrenia.
Apakah Anda pernah berinteraksi dengan orang yang seolah-olah berbicara dengan orang lain tapi tidak ada siapa-siapa? Apakah Anda pernah berinteraksi dengan orang yang merasa dikejar-kejar sesuatu tapi sebenarnya tidak ada siapa pun yang mengejarnya? Apakah Anda pernah berinteraksi dengan orang yang merasa dirinya diperlakukan tidak semestinya oleh siapa pun (bahkan oleh orang yang tidak dikenalnya), padahal tidak?
Bila Anda menjawab ya pada salah satu pertanyaan tersebut berarti mungkin Anda pernah melihat orang dengan skizofrenia (ODS) baik di kehidupan nyata atau mungkin lewat film.
Pada umumnya orang yang kerap disebut “gila” di jalanan atau yang dirawat di rumah sakit jiwa kemungkinan besar didiagnosis menderita skizofrenia. Dalam bahasa percakapan sehari-hari, kata “gila” seringkali merujuk ke kondisi skizofrenia.
Penjelasan awam untuk fenomena ini seringkali berbau spiritual dan magis. Berdasarkan pengalaman saya menemui ODS sebagai klien, mereka semua sudah pernah dibawa oleh orang tuanya atau saudaranya untuk bertemu ke “orang pintar” yang memberikan pelayanan tanpa bukti ilmiah.
Pengalaman para ODS juga beragam. Ada yang menganggap skizofrenia itu disebabkan oleh roh jahat, sehingga ada yang ditangani dengan teknik penyiraman air untuk mengusir roh jahat. Ada juga yang mungkin sama-sama menganggap skizofrenia disebabkan oleh mekanisme roh jahat, tapi penanganannya dengan ritual pemotongan hewan tertentu. Tapi sains punya penjelasan yang berbeda.
1. Apa itu skizofrenia?
Orang dengan skizofrenia (ODS) seringkali didiagnosis skizofrenia karena menderita gejala-gejala mengganggu seperti mendengar bisikan-bisikan atau merasa dikejar-kejar oleh agen tertentu, misalnya Badan Intelijen Negara (BIN). Diagnosis skizofrenia dapat diberikan oleh dokter dengan spesialis kesehatan jiwa (psikiater) atau psikolog klinis dewasa.
Skizofrenia adalah gangguan psikologis berat yang diderita sekitar 0,4% dari populasi. Setiap tahunnya, diperkirakan ada sekitar 15 kasus baru per 100.000 orang. Di Indonesia menurut hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 (Riskesdas) dari Kementerian Kesehatan, gangguan psikologis berat diderita oleh 1,7 per 1.000 orang atau ada sekitar 400.000 warga Indonesia saat ini yang menderita gangguan psikologis berat seperti skizofrenia.
Konsep gangguan psikologis bernama skizofrenia ini sudah memiliki sejarah yang panjang. Skizofrenia secara konseptual dapat diusut ke terminologi dementia praecox yang dicetuskan oleh Emil Kraepelin pada 1880-an berdasarkan hasil penelitiannya terhadap pasien-pasien di Eropa dan Hindia Belanda (lokasi tepatnya Kota Bogor sekarang).
Bukti-bukti ilmiah terbaru menunjukkan bahwa gejala awal skizofrenia dapat muncul pada masa remaja sekitar usia 15-17 tahun, tapi baru dapat didiagnosis skizofrenia pada usia dewasa. Umumnya skizofrenia muncul pada masa usia dewasa muda, yaitu sekitar usia 18-25 tahun, dan kasus skizofrenia yang baru muncul pada usia di atas 40 tahun itu jarang.
2. Apa penyebab skizofrenia?
Skizofrenia disebabkan oleh berbagai macam faktor. Hingga saat ini bukti-bukti ilmiah merujuk pada faktor genetik sebagai penyebab utamanya. Penelitian-penelitian yang menggunakan anak kembar menunjukkan bahwa risiko seseorang mengalami skizofrenia bila saudara kembarnya mengalami skizofrenia adalah sekitar 50 kali lipat.
Tapi penelitian yang lebih mendalam dapat melihat beragam ekspresi gen setiap individu dan menghitung hubungannya dengan diagnosis skizofrenia, tetapi ekspresi gen terkuat hanya berkontribusi sekitar 1% untuk skizofrenia. Selain itu, sebuah penelitian yang melibatkan seluruh populasi sebanyak 1,75 juta orang di Kota Kopenhagen Denmark menunjukkan bahwa lebih dari 80% penderita skizofrenia tidak memiliki saudara yang menderita skizofrenia. Maka dari itu, faktor lingkungan juga penting.
Hubungan antara faktor lingkungan dan skizofrenia belum banyak diteliti. Bukti-bukti ilmiah yang sudah banyak direplikasi baru mengenai perbedaan urban-rural, yaitu orang yang tinggal dan tumbuh besar di kota besar itu lebih tinggi 2-3 kali risikonya mengalami skizofrenia dibandingkan dengan orang yang tinggal di desa. Bukti-bukti lain masih belum banyak direplikasi. Misalnya, ada banyak penelitian menunjukkan kalau pengalaman traumatik masa kecil (seperti pernah mengalami kekerasan seksual) meningkatkan risiko skizofrenia.
Ada juga penelitian yang menunjukkan kalau mengalami perundungan (bully) pada masa kecil dapat meningkatkan risiko skizofrenia. Akan tetapi, bukti-bukti ilmiah untuk perundungan masih belum sekuat pengalaman traumatik.
3. Bagaimana skizofrenia bisa muncul?
Untuk menjelaskan penyebab skizofrenia, ada dua teori besar utama. Pertama, hipotesis dopamin menjelaskan bahwa skizofrenia muncul karena masalah ketidakseimbangan dopamin, yaitu senyawa kimia pengirim informasi yang ada di otak. Bukti-bukti teori ini dapat dilihat dari obat-obatan skizofrenia yang intinya mengurangi absorpsi dopamin ke sinaps-sinaps. Selain itu, penemuan dalam ranah genetik juga menunjukkan bahwa gen yang terkait dengan fungsi dopamin memang berhubungan dengan skizofrenia.
Kedua, teori kognitif yang menjadi landasan dari terapi kognitif perilaku untuk skizofrenia. Dalam teori ini, skizofrenia dianggap muncul karena adanya interpretasi yang salah pada pengalaman anomali. Pengalaman anomali tersebut bisa seperti salah dengar ada orang yang memanggil. Kesalahan interpretasi ini umumnya mudah terjadi bila orang tersebut memiliki konsep diri yang buruk dan sering mengalami perasaan negatif seperti depresi dan cemas.
4. Bagaimana cara menangani skizofrenia?
Cara menangani skizofrenia di setiap negara berbeda-beda tergantung sistem kesehatan di negara itu. Walau demikian, ada juga banyak kesamaannya. Contohnya, baik di Indonesia, Inggris, atau Jerman, penanganan utama untuk skizofrenia adalah terapi obat dengan obat-obatan antipsikotik.
Obat yang sering digunakan di Indonesia adalah antipsikotik generasi pertama seperti chlorpromazine, sedangkan di Inggris dan Jerman antipsikotik yang sering digunakan adalah antipsikotik generasi kedua. Berdasarkan hasil gabungan analisis berbagai penelitian, ditemukan bahwa efektivitas kedua jenis obat untuk menghilangkan gejala skizofrenia itu tidak jauh berbeda, tapi ada perbedaan yang besar di efek samping. Efek samping antipsikotik generasi pertama umumnya lebih banyak daripada antipsikotik generasi kedua, seperti tremor dan penambahan berat badan.
Satu lagi perbedaan adalah kesediaan psikoterapi. Di Inggris, terapi kognitif-perilaku untuk skizofrenia rutin ditawarkan bersamaan dengan antipsikotik. Di Jerman, terapi kognitif-perilaku untuk skizofrenia juga sudah tersedia, terutama di klinik di Hamburg. Di Indonesia, terapi ini masih sedang dalam proses pengembangan dan belum sampai ke tahap pengujian, maka dari itu terapi ini masih belum dapat ditawarkan.
5. Kalau begitu, apa solusinya?
Pertanyaan pertama yang muncul di kalangan pasien skizofrenia adalah apakah saya bisa sembuh? Kata “sembuh” itu sangat sulit untuk dicapai pada banyak kondisi medis dan psikis. Contohnya, sakit flu itu tidak pernah sembuh karena virus flu yang ada di dalam tubuh itu belum bisa kita hilangkan. Selain itu, status virus sebagai benda hidup atau benda mati saja masih diperdebatkan.
Maka, bila minum obat flu, kemudian gejalanya hilang dan kita merasa sembuh, itu kurang tepat karena virusnya masih ada. Sama dengan skizofrenia, terapi obat dan psikologis dapat menghilangkan gejala, tapi terkadang gejala masih bisa muncul tanpa sebab yang benar-benar jelas.
Penanganan untuk skizofrenia yang paling sesuai dengan hasil penelitian mutakhir ada di Inggris. Di sana, Kementerian Kesehatan mengeluarkan keputusan bahwa penanganan untuk skizofrenia pada dasarnya adalah terapi obat antipsikotik. Pada saat yang sama, pasien skizofrenia selalu diberikan tawaran untuk mendapatkan terapi kognitif perilaku untuk skizofrenia dari psikolog klinis dewasa.
Dosen Psikologi pada Universitas Indonesia dan diterbitkan pertama kali dalam The Conversation.