Suara.com - Satu dari delapan perempuan memiliki sel kanker payudara yang kemudian akan berkembang dalam hidupnya. Sayangnya, banyak perempuan Indonesia kurang peduli atau bahkan takut untuk melakukan sadanis (perikasa payudara klinis).
Akibatnya, banyak kasus kanker payudara baru terdeteksi ketika sudah berada pada stadium akhir. Ini dibuktikan dari data Rumah Sakit Kanker Dharmais yang mengungkapkan bahwa 60-70 persen penderita kanker payudara yang menjalani perawatan sudah sampai pada tahap stadium akhir.
"Biasanya karena benjolan pada payudara tidak terasa sakit, dan penderitanya kebanyakan sudah menopause. Karena tidak mau merepotkan keluarga dan awal dari kanker ini tidak terdapat rasa sakit, maka mereka tidak mau memeriksakan dini," kata spesialis bedah onkologi, DR. dr. Samuel J. Haryono, SpB (K) mengenai penyebab mengapa perempuan enggan melakukan pemeriksaan klinis dalam forum Diskusi Philips Indonesia di Jakarta.
Selain itu, kata Samuel, pola hidup masyarakat Indonesia yang jikalau tidak terkena kanker, tidak akan diperiksa, karena tidak ada usur 'urgency', menjadi salah satu penyebab mengapa masyarakat kurang peduli dengan deteksi dini penyakit kanker payudara.
"Orang-orang kurang mawas diri. Ketidaktahuan juga menjadi salah satu faktornya," imbuhnya.
Padahal, dalam sebuah penelitian di Weill Cornell Medicine yang dipimpin oleh dr. Elizabeth Arleo pada Agustus 2017 diketahui bahwa mamografi pada perempuan berusia 40 hingga 80 tahun dapat mengurangi risiko kematian akibat kanker payudara hingga 40 persen.
"Kita bukan masyarakat yang antisipatif, tetapi lebih cenderung reaktif. Problem itu milik masa depan, sekarang masih belum terjadi sehingga tidak perlu melakukan deteksi dini. Pasien kanker payudara sering ditemukan sudah dalam stadium lanjut, karena sadanis tidak dilakukan," tambah Presiden Direktur Philips Indonesia, Suryo Suwignjo.
Nah, sebagai upaya untuk membantu kaum perempuan agar terdeteksi sejak dini ada tidaknya potensi kanker payudara, maka pada 2014 sebuah studi terhadap Mammografi MicroDose (dosis sinar X rendah) Philips dilakukan dengan tajuk “Pemeriksaan Mammografi digital dengan teknik menghitung energi elektromagnetik atau photon-counting: Dapatkah sebuah kinerja diagnostik direalisasikan pada mean glandular dose (MGD) rendah?”.
Hasilnya memperlihatkan bahwa sistem MicroDose Philips memungkinkan pendeteksian small invasive cancers dan DCIS melewati yang diharapkan sesuai dengan acuan sistem di Eropa.
Secara teknis Microdose ini menggunakan detektor khusus yang mampu menghitung energi photon secara langsung menggunakan Photon Counting detector (special detector) sehingga hanya Photon dengan energi level tertentu yang akan terkirim menembus jaringan payudara dan diterima oleh detektor.
MicroDose juga memiliki kualitas pencitraan gambar yang sangat baik dengan dosis radiasi 50-60 persen lebih rendah dibanding mammography DR yang lain.