Bayi Prematur, Waspadai Risiko Kebutaan

Jum'at, 27 Oktober 2017 | 18:47 WIB
Bayi Prematur, Waspadai Risiko Kebutaan
Bayi yang lahir prematur berisiko mengalami kebutaan akibat gangguan retina (Suara.com/Firsta)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berjudul Born Too Soon, The Global Action Report on Preterm Birth, pada 2010 menempatkan Indonesia di urutan kelima sebagai negara dengan jumlah bayi prematur terbanyak di dunia. Bayi prematur diketahui menjadi penyumbang terbesar angka kematian bayi serta cacat fisik.

Prof. Dr. Rita Sita Sitorus, SpM (K), PhD, Guru Besar dari Departemen Ilmu Kesehatan Mata Universitas Indonesia, mengungkapkan bayi yang terlahir prematur atau lahir dengan berat kurang dari 1500 gram atau usia kehamilan kurang dari 34 minggu beresiko mengalami gangguan mata Retinopati Prematuritas (ROP). Penyakit ini, kata dia disebabkan oleh pertumbuhan tidak sempurna dari retina pembuluh darah yang dapat menyebabkan jaringan parut dan operasi pada retina.

"Gangguan mata ROP dapat terjadi dalam skala ringan, di mana dapat menghilang secara spontan, namun pada kasus yang berat dapat mengakibatkan kebutaan," ujar dr Rita pada temu media 'Seeing is Believing' di Jakarta, Jumat (27/10/2017).

Dia pun menekankan pentingnya penanggulangan kebutaan pada bayi dan anak, karena bayi yang terlahir buta atau menjadi buta dikhawatirkan akan menjadi anak-anak memiliki waktu hidup dengan kebutaan yang lebih lama dibandingkan mereka yang menderita kebutaan pada usia dewasa.

Baca Juga: Kasus Kebutaan, Indonesia Ketiga Tertinggi di Dunia

"Walaupun angka kejadian kebutaan pada anak tidak setinggi dengan kebutaan pada orang dewasa seperti katarak, namun total beban emosional, sosial, ekonomi yang harus dibayar akibat kebutaan seorang anak  terhadap keluarga, masyarakat maupun negara jauh lebih besar dibandingkan beban yang harus dibayar akibat kebutaan pada orangtua," ungkap dia.

Bayi prematur yang hidup selamat pun masih memiliki kemungkinan mengalami gangguan kognitif penglihatan dan pendengaran. Ini karena kurangnya pengetahuan orangtua, serta perhatian dan dukungan dari para dokter, tenaga kesehatan, pemerintah, serta pihak terkait untuk menginformasikan bagaimana cara pencegahan ataupun bagaimana cara merawat bayi prematur.

Di Indonesia, Prof Rita menambahkan, angka kematian bayi prematur telah berkurang berkat ketersediaan inkubator pada fasilitas neonatal intensive care units (NICU) di rumah sakit. Namun kasus ROP diperkirakan akan teeus meningkat karena banyak bayi prematur yang bertumbuh menjadi anak-anak. Data dari RSCM menunjukkan pada 2013, kurang dari 10 persen bayi lahir prematur di rumah sakit selain RSCM memperoleh pemeriksaan ROP.

"Walaupun standar dan pedoman tata laksana penanganan ROP sudah ada, sayangnya tidak banyak dipatuhi secara sistematis karena kurangnya pelatihan, kapasitas, dan ketidakmampuan untuk mengidentifikasi bayi beresiko dan merujuk untuk mendapatkan perawatan," tandasnya.

Baca Juga: Ini Manfaat Vitamin D bagi Bayi Prematur

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI