Indonesia Masih Kekurangan Alat Diagnosis Penyakit Asma dan PPOK

Rabu, 27 September 2017 | 10:51 WIB
Indonesia Masih Kekurangan Alat Diagnosis Penyakit Asma dan PPOK
Peluncuran Program Healthy Lung, di Jakarta Selasa (26/9/2017). (Suara.com/Firsta)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan gangguan pada sistem pernapasan yang prevalensinya terus meningkat dari waktu ke waktu di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menyebut bahwa prevalensi asma mencapai 4.5 persen dari total populasi di Indonesia sedangkan PPOK mencapai 6.3 persen.

Peningkatan prevalensi kedua penyakit ini, kata dokter spesialis paru dari RS Persahabatan, Prof Faisal Yunus MD, Ph.D, salah satunya disebabkan oleh diagnosis yang kurang akurat akibat belum tersedianya alat diagnosis untuk kedua penyakit tersebut di seluruh rumah sakit maupun puskesmas.

Untuk kasus penatalaksanaan penyakit asma, Prof Faisal menyebut bahwa belum semua fasilitas kesehatan memiliki alat pengukut puncak ekspirasi atau peak flow meter. Padahal alat ini dapat mendeteksi apakah asma yang diderita pasien sudah terkontrol atau belum.

"Karena tujuan pengobatan kita adalah agar pasien memiliki asma yang terkontrol dalam artian tidak ada serangan di malam hari sehingga seperti orang normal," ujar dia dalam temu media Peluncuran Program Healthy Lung, di Jakarta Selasa (26/9/2017).

Baca Juga: Hati-Hati, Bangkai Kecoak Bisa Memicu Serangan Asma!

Ia menambahkan, untuk obat-obatan asma sendiri memang sudah masuk dalam BPJS, sayangnya obat-obatan ini tidak tersedia di semua puskesmas. Akibatnya pasien kesulitan mendapatkan obat-obatan yang seharusnya diperolehnya sebagai peserta BPJS. Belum lagi pemerataan pengetahuan tenaga medis dalam penatalaksanaan asma.

Masalah yang sama juga terjadi dalam penatalaksanaan PPOK. Ia mengatakan, peningkatan kasus PPOK terjadi karena meningkatnya jumlah perokok di Indonesia. Selain itu kurang tersedianya alat spirometri untuk mendiagnosis PPOK juga menjadi pemicu diagnosis yang kurang akurat dalam penatalaksanaan PPOK.

"Sayangnya belum semua rumah sakit memiliki alat ini. Sehingga diagnosis hanya sekedar menanyakan pasien ada keluhan ini atau tidak. Diagnosis menjadi tidak akurat sehingga pengobatan juga tidak tepat," tambah dia.

Untuk mengatasi kebutuhan akan diagnosa dini dalam penanggulangan penyakit yang lebih baik, AstraZeneca berkomitmen membantu dalam pengembangan Pusat Inhalasi di lebih dari 300 Puskesmas dan RSUD di Jakarta, guna menyediakan akses yang lebih baik kepada pasien melalui program 'Healthy Lung'.

Cakupan tersebut akan diperluas hingga mencakup 4.000 Puskesmas dengan rawat inap di seluruh Indonesia dari tahun 2018 hingga tahun 2020. Saat ini, sudah berhasil dikembangkan 126 Pusat Inhalasi yang tersedia di seluruh Indonesia.

Baca Juga: Gara-gara Asma, Inge Prasetyo Wakili Indonesia di Ironman Dunia

Pendekatan program “Healthy Lung” lainnya ialah pengembangan kapasitas dan peningkatan kapabilitas tenaga kesehatan untuk tatalaksana penyakit paru. Disampaikan Rizman Abudaeri, Direktur PT AstraZeneca Indonesia, pihaknya akan menyediakan kegiatan edukasi bagi tenaga kesehatan dalam penanganan penyakit asma, PPOK dan kanker paru secara lebih baik. Program ini sejalan dengan upaya penambahan Pusat Inhalasi di Puskesmas dan RSUD.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI