Suara.com - Kasus bullying atau perundungan terjadi bukan hanya pada remaja seperti anak SMA, tapi juga merambah pada anak-anak SMP, SD, hingga TK. Parahnya, perilaku tidak terpuji seperti mem-bully bukan hanya dilakukan oleh anak-anak yang tumbuh di kota besar saja.
Pemerhati anak Seto Mulyadi mengatakan, perilaku bullying tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tapi juga sudah banyak dilakukan oleh anak-anak di daerah.
"Bahkan ada catatan dari penelitian kandidat Doktor dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung, di Jawa Barat, di SD saja, 60-70 persen SD di Jawa Barat mengalami bully," ungkapnya di Kementerian Kesehatan, Jakarta, (24/7/2017).
Lebih lanjut, Seto mengatakan, empat tahun lalu pernah ada kejadian bunuh diri yang dilakukan seorang anak TK di Jawa Tengah karena frustasi di-bully di sekolah. Namun, tetap dipaksa bersekolah oleh ibundanya.
"Ini terjadi karena adanya pembiaran baik dari para guru, orangtua, bahkan kepala dinas pendidikan. Kemudian juga tidak ada komunikasi yang efektif," jelas Kak Seto.
Senada dengan Seto Mulyadi, Direktur Kesehatan Keluarga, Kementerian Kesehatan, dr. Eni Gustina, MPH memaparkan, sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap kekerasan seperti bullying merupakan hal biasa.
"Anak itu kalau sering dilakukan kekerasan akan menghambat pertumbuhannya. Khususnya secara mental, dan berikutnya dia akan menjadi pelaku," ujar Eni saat ditemui Suara.com.
Parahnya, para pendidik di Indonesia juga kadang merasa bingung menghadapi kasus perundungan yang terjadi di sekolah. Seto merasa, perlu adanya buku panduan serta bimbingan bagi guru untuk mengatasi kasus bullying di sekolah.
"Misalnya ada satgas antibully yang dibangun dan bekerja sama dengan OSIS, guru, kepala dinas dan orangtua," imbuhnya.
Dalam data yang dikeluarkan Pusat Litbang Departemen Kesehatan pada 2015 disebutkan, 20,6 persen siswa anak usia sekolah di Indonesia pernah mengalami bully, 5,2 persen di antaranya pernah berpikir untuk melakukan bunuh diri karena di-bully.
Data tersebut dibuat setelah melakukan survei kepada 11.163 anak berusia 12-18 tahun di 26 propinsi, dan 68 kota/ kabupaten di Indonesia.