Miris, Kasus Gizi Buruk Cuma Berjarak 4 Km dari Istana Bogor

Jum'at, 21 Juli 2017 | 17:53 WIB
Miris, Kasus Gizi Buruk Cuma Berjarak 4 Km dari Istana Bogor
Muhamad Arif (28 bulan), bayi penderita gizi buruk di Bogor digendong Asep (ayah) bersama ibu dan kedua kakaknya. (Suara.com/Firsta Nodia)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kasus gizi buruk di Indonesia hingga kini masih tinggi. Inilah yang membuat Presiden Joko Widodo menaruh perhatian besar terhadap kasus balita gizi buruk, karena menyangkut kualitas dan masa depan generasi penerus bangsa.

Tak heran bila Presiden Jokowi sering blusukan ke daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan, dimana di daerah-daerah tersebut, angka balita gizi buruk masih sangat tinggi. Namun, siapa yang menyangka kalau kasus serupa juga masih banyak ditemukan di Pulau Jawa, bahkan tak jauh dari pusat pemerintahan.

Ya, hanya berjarak 4 kilometer dari Istana Kepresidenan Bogor, ada balita dengan kondisi gizi buruk tergeletak tak berdaya. Bocah malang berjenis kelamin laki-laki itu bernama Muhamad Arif (2 tahun, 4 bulan).

Ia tinggal bersama ayah, ibu dan dua saudara kandungnya di rumah kontrakan sederhana berukuran 4x3.5 meter yang berlokasi di Mekar Wangi RT 4/13, Kelurahan Rangga Mekar, Bogor Selatan, Kota Bogor.

Menurut laporan Dinas Kesehatan Bogor 2016, Kecamatan Bogor Selatan dimana Arif tinggal, memang memiliki prevalensi kasus gizi buruk terbanyak di antara wilayah Bogor lainnya.

Saat suara.com mengunjungi rumah kontrakan Arif, tak ada kamar khusus untuk beristirahat layaknya tempat tinggal pada umumnya. Ia tergolek lemah tak berdaya di teras ubin beralaskan kasur lapuk dan tikar seadanya di area depan televisi, yang juga menjadi tempat bagi sang ibu, Cici Nuraeni (36 tahun) untuk memasak.
 
Sedangkan sang ayah, Asep Sutriawan (47 tahun), duduk di depan pintu sembari mengepulkan asap rokok ke arah luar. Andriani (15 tahun), kakak laki-laki Arif menghabiskan waktunya meringkuk di balik rak televisi, tempat dimana ia dan sang ayah beristirahat di malam hari.

“Andri sudah berhenti sekolah. Kegiatannya di rumah aja, nggak kemana-mana, paling ngaji. Kalau ada uang lagi nanti diterusin,” ujar perempuan yang akrab disapa Bu Ani menimpali rasa penasaran saya melihat Andri tak berkegiatan seperti anak seusianya.

Asri Isnawati (4 tahun), kakak perempuan Arif tampak sesekali bersembunyi ketika saya berkunjung ke rumahnya. Pada ruang tamu sekaligus ruang istirahat tersebut kami berbincang panjang.

Sesekali suara.com mengamati tumpukan pakaian yang menggantung di bawah langit-langit rumah. Dinding rumah yang lembab dan berwarna kecoklatan menjadi saksi bisu pedihnya perjuangan keluarga ini melawan kemiskinan.

Ya, Arif merupakan satu dari ribuan balita penderita gizi buruk di Bogor. Rumah dimana ia tinggal lokasinya hanya berjarak 4 kilometer dari Istana Bogor. Ini cukup miris, mengingat Presiden Jokowi mengungkapkan ketegasannya dalam melawan gizi buruk yang ada di Indonesia dalam pembukaan Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2017.

Kisah Arif, Balita Gizi Buruk di Bogor
Ani bercerita, saat berusia 17 bulan, bobot Arif menyusut hingga 6.4 kilogram dengan panjang badan 74.5 cm. Merujuk pada standar status gizi berdasarkan berat badan, umur, dan tinggi badan, buah hatinya itu dikategorikan sebagai balita gizi buruk, sangat kurus dan pendek. 

Tubuhnya sangat kerempeng, tulang kaki yang begitu kecil, dengan bola mata yang hampir keluar. "Makannya sedikit, padahal waktu lahir berat badannya bagus 3 kilogram. Saya juga kasih ASI, tapi begitu di atas satu tahun terus turun berat badannya,” ujar Ani dengan suara lirih.

Perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga ini mengatakan bahwa kondisi Arif semakin memburuk ketika timbul gejala batuk yang membuat napasnya tersengal-sengal. Ia dan Asep sempat ragu membawa anaknya ke dokter, karena keterbatasan biaya. 

Asep hanyalah seorang tukang rak piring yang mendapat penghasilan Rp 60 ribu sehari atau Rp 1.5 juta sebulan untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. 

“Rumah ngontrak, sebulan dua ratus ribu. Ini juga sudah dua bulan belum bayar. Kemarin pas Arif sakit sebulan nggak kerja, gantian jaga anak. Jadi nggak ada pemasukan,” imbuh Ani.

Keterbatasan ekonomi ini jualah yang membuat si sulung Andri terpaksa putus sekolah. Ani sebenarnya tak tega melihat putra pertamanya itu hanya mendekam di balik lemari, karena malu tak bersekolah seperti teman-teman lainnya. 

Namun pendapatan sang suami yang pas-pasan memaksa Ani harus memberi pengertian pada Andri untuk berbesar hati. “Ya nanti kalau ada uang diterusin. Masuk sekolah kan mahal, bulanannya Rp 45 ribu,” ujar Ani.

Sehari-hari Ani mengaku memberikan makanan cukup gizi kepada buah hatinya. Biasanya ia memasak ikan, telur, atau mie sebagai lauk nasi yang praktis. Terkadang untuk makan, ia dibantu mertua atau tetangga dengan memberikan lauk dan sayuran untuk meringankan bebannya. Ia pun kebingungan mengapa Arif bisa menderita gizi buruk.

“Saya mah kasian lihat Arif sakit begini. Tiduran terus. Pas lahir juga gemuk, tapi kenapa sekarang bisa jadi begini,” ujar Ani sembari menitikkan air mata.

Baca Juga: Bocah Geng Brother Of Santay Jalani Pemeriksaan Psikologi

Sempat Menolak Ditangani Puskesmas
Kabar mengenai Arif yang mengalami gizi buruk pun tersiar hingga ke Puskesmas Bogor Selatan. Dengan bantuan petugas Posyandu, tenaga medis dari Puskesmas pun menyambangi rumah kontrakan dimana keluarga Arif tinggal pada Juni 2016. 

Ahli gizi dari Puskesmas Bogor Selatan yang menangani Arif, Sondang Yunita mengatakan, bahwa orangtua Arif sempat menolak putranya diintervensi tenaga medis. Ia bahkan sudah menunggu di Posyandu Rangga Mekar, namun keluarga Arif tak kunjung datang.

“Terus saya datangi ke rumahnya Juni 2016 bawa timbangan, pas pertama kali datang memang kurus, tapi nggak sekurus ketika masuk rumah sakit April kemarin. Nggak mau dibawa ke psoyandu alasannya jauh, tapi saya bilang kalau jauh cari yang terdekat. Cuman memang kelihatannya mereka nggak mau bawa anaknya ke tenaga kesehatan,” ujar Sondang.

Balita yang saat itu berusia 26 bulan itu pun langsung diintervensi dengan pemberian susu formula khusus F75. Pada jadwal intervensi berikutnya, Sondang mendapati keluarga Arif sedang pulang kampung ke Ciamis, Jawa Barat.

Menurut tetangga yang didatanginya, orangtua Arif berniat membawa Arif ke pengobatan alternatif untuk mendapatkan kesembuhan.

“Pada bulan Desember 2016, keluarga sudah kembali ke kontrakan, kami sempat meminta Arif dibawa ke puskesmas, tetapi keluarga balita menolak karena sudah dilakukan pengobatan alternatif dengan diurut,” tambah Sondang.

Hingga akhirnya pada awal Maret lalu kondisi Arif kian memburuk. Kader Posyandu setempat pun mendorong orangtua Arif untuk mau membawa anaknya ke dokter. 

Akhirnya Ani dan Asep setuju membawa Arif ke RSUD Kota Bogor. Arif pun segera menjalani berbagai pemeriksaan fisik. 

“Saya sakitnya kurang tahu apa. Kata dokter sakitnya banyak tapi nggak diceritain, cuman flek aja tahunya. Dirawat di sana sebulan, terus disuruh rajin kontrol,” ujarnya.

Sondang yang kala itu masih berkoordinasi dengan dokter dan ahli gizi RSUD Kota Bogor menyatakan bahwa gizi buruk yang dialami Arif memang tergolong sangat parah. Arif juga didiagnosis mengidap tuberkulosis atau TB sehingga membuat tubuhnya kerempeng dan kesulitan bernapas. 

Belakangan diketahui bahwa Asep, sang ayah, juga didiagnosis mengidap Tuberkulosis yang disinyalir akibat kebiasaan merokoknya. Normalnya, menurut Sondang, Arif yang berusia 2 tahun 4 bulan dengan tinggi badan 74.5 cm setidaknya memiliki bobot tubuh 8.1 kilogram. 

Namun sebulan setelah mendapat perawatan intensif beratnya hanya 7.3 kilogram. Itu artinya status gizi Arif masih tergolong kurang. “Jadi gizi buruk yang dialami Arif ini tak hanya karena kekurangan gizi, tapi juga diperparah dengan penyakit tuberkulosis yang dideritanya. TB ini sangat berbahaya karena mempengaruhi status gizinya juga,” tambah Sondang.

Asep dan Ani hanya bisa berharap kondisi Arif terus membaik. Keduanya tak tega melihat bocah mungil tersebut hanya terbaring lemah tak berdaya. Berkaca dari kasus Arif, nampaknya gizi buruk dan kemiskinan tak bisa dipisahkan. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI