Suara.com - Kasus gizi buruk di Indonesia masih menjadi perhatian utama pemerintah. Bagaimana tidak, laporan Global Nutrition pada 2016 menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-108 di dunia dengan kasus gizi buruk terbanyak.
Ini artinya masalah kasus gizi buruk di Indonesia harus benar-benar dicari solusinya agar angka kasus gizi buruk bisa terus ditekan. Apalagi kasus ini tak hanya berdampak pada terhambatnya pertumbuhan fisik balita, tapi juga berdampak pada organ bagian dalam tubuhnya.
Dokter spesialis gizi klinik FKUI RSCM, Inge Permadhi menyebutkan, kekurangan gizi pada anak di awal kehidupan dapat mempengaruhi metabolisme tubuh agar menyesuaikan dengan kondisi kekurangan gizi.
Namun ketika gizi mudah diperoleh, tubuh anak menjadi rentan terhadap obesitas dan mudah terkena penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, jantung koroner hingga stroke.
Sementara itu spesialis anak konsultan tumbuh kembang, Pediatri Sosial, RS Dr. Soetomo Surabaya, Dr. dr Ahmad Suryawan, Sp.A (K) mengatakan bahwa anak dengan gizi buruk berpeluang mengalami kematian akibat diare lima kali lipat lebih tinggi, akibat radang paru empat kali lebih tinggi, malaria empat kali lipat lebih tinggi, dan tiga kali lipat lebih tinggi akibat campak.
Belum lagi masalah penurunan kecerdasan yang dialami anak dengan gizi buruk yang merosot sebanyak 7 hingga 31 poin dibandingkan anak-anak dengan status gizi yang baik. Pada gilirannya tingkat kecerdasan yang rendah menyebabkan anak dengan gizi buruk rentan mengalami gangguan perilaku emosi, performa sekolah yang menurun dan keberhasilan karir di masa mendatang.
“Kenapa berpengaruh ke kecerdasan? Itu karena 95 persen pembentukan otak anak terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan, hingga usia 6 tahun. Ketika balita berusia 2 tahun maka pembentukan otaknya hampir mencapai 80 persen, sehingga 2 tahun pertama usia anak harus termonitor dengan baik berat badannya. Kalau tidak segera diintervensi, kita terlambat,” ujar dia.
Berkontribusi Ciptakan Ketimpangan Ekonomi
Adanya kasus gizi buruk di Indonesia turut berkontribusi menciptakan ketimpangan ekonomi. Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah konferensi pers 23 Februari 2017 mengatakan, anak yang kekurangan gizi memiliki peluang yang rendah dalam memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak di masa mendatang.
Padahal pada 2020-2030, Indonesia akan memasuki masa bonus demografi, dimana penduduk produktif di rentang usia 15-64 tahun memiliki porsi yang paling besar dibandingkan rentang usia lainnya. Namun karena masalah malnutrisi, bonus demografi bisa berubah menjadi beban demografi.
Di sisi ekonomi, Bank Dunia menyebut bahwa dampak malnutrisi diperkirakan setara dengan kehilangan 2-3 persen PDB Indonesia. Jika nilai PDB Indonesia atas Harga Dasar Berlaku (ADHB) mencapai Rp 12.406,8 triliun maka kasus gizi buruk berpotensi memangkas hampir Rp 372 triliun.
Angka tersebut merupakan estimasi potensi kerugian ekonomi akibat masalah gizi buruk pada balita di Indonesia, yang meliputi biaya berobat akibat penyakit degeneratif, hingga hilangnya produktivitas karena tingkat intelegensi yang menurun. Seperti yang disampaikan dr Inge Permadhi, SpGK, anak yang kurang gizi berisiko mengalami penyakit degeneratif saat dewasa seperti jantung, stroke, diabetes, ginjal dan lainnya. Sederet penyakit ini, lanjut dia, akan meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk membiayai perawatan penyakit tersebut.
Hal ini terbukti pada laporan BPJS Kesehatan yang mengungkap daftar penyakit paling banyak menyedot anggaran sepanjang 2015, dimana penyakit jantung menempati urutan pertama yang menghabiskan dana Rp 3,5 triliun dalam setahun atau 13 persen dari total anggaran. Disusul gangguan pencernaan dengan total anggaran Rp 3,3 triliun, gangguan pernafasan Rp 2,39 triliun, masalah persalinan Rp 2,34 triliun, penyakit muskuloskeletal Rp 1,9 triliun, stroke Rp 1,53 triliun, ginjal dan infeksi saluran kemih sebesar Rp 1,5 triliun. Padahal penyakit berbiaya besar ini bisa dicegah salah satunya dengan menurunkan kasus gizi buruk di Indonesia.
Presiden Joko Widodo tampaknya telah menakar benar dampak kerugian yang ditimbulkan dari masalah gizi buruk yang tak kunjung pergi dari Indonesia. Dalam pembukaan Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2017, pada akhir Februari lalu, Presiden Jokowi meminta kepada Kementerian Kesehatan untuk fokus mengenyahkan masalah gizi buruk di Indonesia.
“Jangan sampai ada lagi yang namanya gizi buruk. Ndak. Memalukan kalau masih ada satu orang saja di sebuah daerah, dua orang, tiga orang, harus ditangani sebaik-baiknya,” ujarnya.
Langkah Konkret Pemberantasan Gizi Buruk di Indonesia
Perhatian Presiden Jokowi terhadap pemberantasan gizi buruk bukan tanpa alasan. Ia membayangkan bagaimana generasi mendatang bisa bersaing dengan bangsa lain untuk meningkatkan perekonomian Indonesia, jika saat balita sudah terkena gizi buruk yang menyebabkan kesehatannya terganggu dan kecerdasannya menurun.
Padahal, Jokowi memimpikan Indonesia bisa masuk dalam posisi lima besar, negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia pada 2045.
Laporan Global Nutrition pada 2016 menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-108 di dunia dengan kasus gizi buruk terbanyak, di atas Laos (124) dan Timor Leste (132). Posisi ini bahkan lebih tinggi diantara negara-negara di ASEAN, seperti Thailand (46) Malaysia (47), Vietnam (55), Brunei (55), Philipina (88), bahkan Kamboja (95).
“Bagaimana kita bisa bersaing masuk lima besar negara dengan PDB terbesar pada 2045 jika masih ada anak yang kekurangan gizi dan hidup dalam kemiskinan. Percuma kita bersaing, mau berkompetisi dengan negara lain, kalau keadaan seperti ini masih ada,” ujar Presiden Jokowi.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono mengungkapkan, pada 2017 fokus perbaikan status gizi akan dilakukan pada berbagai aspek seperti memperluas cakupan ASI eksklusif, pencegahan anemia pada ibu hamil, penurunan kasus bayi lahir pendek, serta pemantauan pertumbuhan pada anak balita.
Beberapa target tersebut diimplementasikan dalam program pemberian makanan tambahan (PMT) dan layanan posyandu. Pemberian makanan tambahan ditujukan pada balita gizi buruk, ibu hamil, dan anak-anak.
Kader-kader posyandu pun dituntut ‘jemput bola’ untuk menemukan masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan. Meski demikian intervensi pengentasan kasus gizi buruk tak semata-mata ‘PR’ sektor kesehatan.
Ahli Gizi Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Diah M. Utari,mengatakan intervensi sektor kesehatan hanya menyumbang 30 persen dalam pengentasan gizi buruk, sisanya bergantung pada sektor non-kesehatan sebesar 70 persen.
“Masalah gizi buruk bukan hanya karena kurangnya asupan gizi, namun juga faktor ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan dan lingkungan dimana balita tersebut tinggal. Selain pemberian makanan tambahan,lihat juga bagaimana sektor non kesehatan bisa berperan, seperti penyediaan MCK, air bersih, rumah layak huni, pengentasan kemiskinan, dan lainnya,” ujarnya.
Pernyataan Diah ini seakan mengerucutkan siapa yang paling bertanggung jawab dalam pengentasan gizi buruk Indonesia. Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) sebagai ‘leading sector’ seyogyanya segera mengakselerasi kementerian dan lembaga terkait untuk mengkonkretkan target penghapusan permasalahan gizi buruk di Indonesia.
Baca Juga: SD Negeri Ini Tak Terima Satu Murid Baru Pun, Kok Bisa?