Kasus Gizi Buruk, Indonesia Urutan Ke-108 Terbanyak di Dunia

Kamis, 20 Juli 2017 | 15:53 WIB
Kasus Gizi Buruk, Indonesia Urutan Ke-108 Terbanyak di Dunia
Ilustrasi kesehatan dan gizi anak. (Foto: Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Langkah Konkret Pemberantasan Gizi Buruk di Indonesia
Perhatian Presiden Jokowi terhadap pemberantasan gizi buruk bukan tanpa alasan. Ia membayangkan bagaimana generasi mendatang bisa bersaing dengan bangsa lain untuk meningkatkan perekonomian Indonesia, jika saat balita sudah terkena gizi buruk yang menyebabkan kesehatannya terganggu dan kecerdasannya menurun.

Padahal, Jokowi memimpikan Indonesia bisa masuk dalam posisi lima besar, negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia pada 2045.

Laporan Global Nutrition pada 2016 menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-108 di dunia dengan kasus gizi buruk terbanyak, di atas Laos (124) dan Timor Leste (132). Posisi ini bahkan lebih tinggi diantara negara-negara di ASEAN, seperti  Thailand (46) Malaysia (47), Vietnam (55), Brunei (55), Philipina (88), bahkan Kamboja (95).

“Bagaimana kita bisa bersaing masuk lima besar negara dengan PDB terbesar pada 2045 jika masih ada anak yang kekurangan gizi dan hidup dalam kemiskinan. Percuma kita bersaing, mau berkompetisi dengan negara lain, kalau keadaan seperti ini masih ada,” ujar Presiden Jokowi.

Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono mengungkapkan, pada 2017 fokus perbaikan status gizi akan dilakukan pada berbagai aspek seperti memperluas cakupan ASI eksklusif, pencegahan anemia pada ibu hamil, penurunan kasus bayi lahir pendek, serta pemantauan pertumbuhan pada anak balita.

Beberapa target tersebut diimplementasikan dalam program pemberian makanan tambahan (PMT) dan layanan posyandu. Pemberian makanan tambahan ditujukan pada balita gizi buruk, ibu hamil, dan anak-anak.

Kader-kader posyandu pun dituntut ‘jemput bola’ untuk menemukan masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan. Meski demikian intervensi pengentasan kasus gizi buruk tak semata-mata ‘PR’ sektor kesehatan.

Ahli Gizi Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Diah M. Utari,mengatakan intervensi sektor kesehatan hanya menyumbang 30 persen dalam pengentasan gizi buruk, sisanya bergantung pada sektor non-kesehatan sebesar 70 persen.

“Masalah gizi buruk bukan hanya karena kurangnya asupan gizi, namun juga faktor ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan dan lingkungan dimana balita tersebut tinggal. Selain pemberian makanan tambahan,lihat juga bagaimana sektor non kesehatan bisa berperan, seperti penyediaan MCK, air bersih, rumah layak huni, pengentasan kemiskinan, dan lainnya,” ujarnya.

Pernyataan Diah ini seakan mengerucutkan siapa yang paling bertanggung jawab dalam pengentasan gizi buruk Indonesia. Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) sebagai ‘leading sector’ seyogyanya segera mengakselerasi kementerian dan lembaga terkait untuk mengkonkretkan target penghapusan permasalahan gizi buruk di Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI