Suara.com - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy baru-baru ini menetapkan kebijakan delapan jam belajar dengan lima hari sekolah. Rencananya, kebijakan ini akan mulai diterapkan pemerintah pada tahun ajaran 2017/2018 mendatang.
Memang, melalui kebijakan ini, anak akan mendapatkan libur dua hari pada Sabtu dan Minggu. Tapi, apakah kebijakan ini efektif diterapkan bagi anak-anak sekolah?
Disampaikan psikolog Ayoe Sutomo, jika delapan jam belajar ini hanya dilakukan di kelas, maka dikhawatirkan justru dapat membuat anak bosan, lelah dan kehilangan ruang bergerak. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan stimulasi motorik anak terganggu dan penyerapan pelajaran tidak berlangsung efektif.
Untuk menghindari hal ini, Ayoe mengimbau agar guru nantinya dapat memilih aktivitas yang sesuai, agar delapan jam belajar akan menyenangkan bagi anak. Sebab, ketika anak merasa senang saat belajar, maka penyerapan pelajaran pun menjadi lebih efektif.
"Kalau membosankan, itu hanya membuat anak lelah, dan yang diajarkan tidak akan terserap sempurna oleh anak," ujar Ayoe pada acara temu media di Jakarta, Kamis (15/6/2017).
Ayoe juga berpesan kepada orangtua agar tidak berekspektasi lebih terhadap buah hatinya. Apalagi mengingatkannya untuk kembali belajar sepulang sekolah, karena hal ini akan menambah beban anak yang membuatnya tak bersemangat untuk sekolah.
"Ketika libur yang dua hari itu (Sabtu-Minggu), jadikan itu sebagai hari istimewa bersama anak. Bisa diisi dengan kegiatan yang mempererat ikatan emosi dengan anak, seperti memasak bareng, nyuci mobil bareng, atau bikin craft gitu. Jadi jangan terus disuruh belajar, karena anak sudah terlalu lelah di sekolah delapan jam setiap hari," pungkas dia.