Suara.com - Sebuan penelitian terbaru mengatakan jika separuh perempuan Amerika Serikat yang melakukan mastektomi ganda dianggap sia-sia dan tidak perlu karena dokter telah salah membaca data uji genetik mereka.
Tingkat perempuan yang melakukan mastektomi tiba-tiba meroket sejak Angelina Jolie, pada 2013 melakukan hal yang sama, karena dianggap memiliki risiko terkena kanker payudara yang tinggi.
Aktris ini memilih menghapus kedua payudaranya karena tes menunjukkan ia membawa gen BRCA1 yang bisa meningkatkan risiko terkena kanker payudara hingga sebesar 87 persen.
Dalam empat tahun sejak hal tersebut, jutaan perempuan Amerika telah melakukan uji genetik, dan dalam banyak kasus, melanjutkan untuk kemudian mengangkat kedua payudara mereka.
Baca Juga: Ditanya Kapan Nikah, Dewi Perssik Takut Nabrak
Namun, para peneliti di Stanford University School of Medicine mengklaim bahwa setengah dari mereka yang menjalani mastektomi ganda setelah pengujian genetik tidak benar-benar memiliki mutasi yang diketahui meningkatkan risiko kanker.
Mereka juga memperingatkan meskipun pengujian genetik adalah hal yang umum dan murah, hal tersebut juga menghasilkan data yang membingungkan.
Munculnya gen multipleks yang secara bersamaan menguji mutasi atau variasi dalam gen yang berbeda dapat membuat hasil yang sulit ditafsirkan tanpa bantuan seorang konselor genetik yang terlatih.
Dalam sebuah studi nasional yang diwakili oleh 2.000 perempuan, para peneliti menemukan 50 persen dari pasien hanya memiliki varian signifikansi atau VUs, yang merupakan varian gen yang tidak jelas dan pada akhirnya sering kali tidak berbahaya.
Para ahli mengatakan penelitian ini menyoroti betapa mendesaknya akan kebutuhan konselor genetik untuk membantu pasien dan dokter lebih memahami hasil pengujian genetik di tengah lonjakan popularitas untuk melakukan prosedur mastektomi di tengah masyarakat.
Baca Juga: Bank DKI Bantah Bantu Kampanye Ahok
"Temuan kami menunjukkan pemahaman yang terbatas antara dokter dan pasien tentang arti hasil tes genetik," kata Allison Kurian, MD, profesor kedokteran dan penelitian kesehatan dan kebijakan di Stanford.
Antara 25 persen hingga 50 persen ahli bedah kanker payudara yang disurvei oleh peneliti mengaku memperlakukan perempuan dengan VUs dengan cara yang sama persis dengan perempuan yang telah mengalami mutasi terkait kanker.
Beberapa perempuan dalam penelitian ini juga mengatakan mereka telah menjalani operasi mastektomi sebelum menerima pengujian genetik atau melihat hasil, hanya karena mereka begitu ketakutan dan ingin menurunkan risiko.
Para peneliti kemudian meminta 2.502 perempuan yang baru didiagnosis dengan kanker payudara apakah mereka telah menerima pengujian genetik, dan jika demikian, apakah pengujian dan diskusi hasil terjadi sebelum atau setelah operasi payudara.
Mereka menemukan bahwa dari 666 perempuan yang telah menerima pengujian, 59 persen dianggap memiliki risiko tinggi mutasi berbahaya dalam gen terkait kanker.
Sekitar seperempat dari perempuan tersebut melakukan pengujian genetik setelah operasi masektomi, yang artinya keputusan penting dibuat sebelum informasi mengenai status mutasi mereka yang tersedia.
"Temuan kami menunjukkan bahwa kita tidak memaksimalkan memanfaatkan pengujian genetik untuk pasien dengan kanker payudara karena hambatan yang berkaitan dengan ketepatan waktu pengujian dan kurangnya keahlian yang diperlukan untuk menggabungkan hasil ke keputusan pengobatan," terang Katz, seorang profesor kedokteran dan manajemen kebijakan kesehatan di University of Michigan.
Ketidakpastian mengenai arti dari hasil tes dapat menyebabkan ahli bedah kurang berpengalaman merekomendasikan pengobatan agresif dalam bentuk mastektomi bilateral, atau menyebabkan perempuan memilih apa yang mereka rasa merupakan pilihan paling aman untuk mengelola risiko kanker mereka.
Sebaliknya, wanita berisiko tinggi yang tidak membawa mutasi berbahaya memerlukan informasi ini untuk membuat keputusan tentang pilihan perawatan kesehatan mereka.
"Kesenjangan identifikasi dalam penelitian ini mencolok," tambah Jagsi, Proofesor dan Wakil Ketua onkologi radiasi