Gaya Hidup Modern Bisa Ganggu Pasien Bipolar
Perilaku konsumtif, penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan peningkatan perilaku impulsif menjadi beberapa hal yang dikhawatirkan.
Suara.com - Memperingati Hari Bipolar Sedunia yang jatuh setiap 31 Maret, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa DKI Jakarta atau PDSKJI Jaya mengadakan sebuah media seminar yang mengangkat tema tentang Gangguan Bipolar VS Gaya Hidup Modern. Dalam seminar itu disebutkan, gaya hidup modern yang berlebihan atau bahkan cenderung buruk dapat memberikan pengaruh negatif kepada pasien dengan gangguan bipolar.
Perilaku konsumtif, penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan peningkatan perilaku impulsif menjadi beberapa hal yang dikhawatirkan dapat dilakukan oleh pasien bipolar karena gaya hidup modern.
Bipolar sendiri merupakan suatu gangguan pada alam perasaan yang pada episode waktu tertentu timbul dalam bentuk suasana hati depresi atau justru kebalikannya, yaitu manik atau hipomanik.
"Kadang-kadang juga terjadi episode campuran. Namun 80 persen hingga 90 persen dapat diobati dengan efektif. Mereka bisa mencapai kehidupan yang optimal dengan obat, terapi dan dukungan dari kehidupan sekitar," kata Kepala Departemen Psikiatri RSCM, Agung Kusumawardani.
Baca Juga: Tawa di Balik Luka: Ketika Komedian Harus Melucu Meski Batin Terluka
Agung juga menjelaskan, meski belum ada penelitian yang mengatakan bahwa gangguan bipolar terkait dengan gen, namun 60 persen sampai 65 persen pasien gangguan bipolar memili riwayat keluarga.
"Dan lebih banyak pada kelompok dengan tingkat edukasi dan sosio-ekonomi tinggi," ujarnya.
Edukasi, deteksi dini, diagnosis tepat dan terapi optimal merupakan beberapa cara agar pasien gangguan bipolar dapat memperbaiki kualitas hidup mereka.
Dalam seminar yang sama, Psikiater Departemen Kesehatan Jiwa Masyarakat, RSJ Dr. Soeharto Heerdjan, Grogol, Dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ (K) memaparkan mengenai kesehatan jiwa warga yang tinggal pada setting perkotaan.
Dia menjelaskan mengenai beberapa faktor risiko gangguan jiwa menjadi lebih rentan pada setting perkotaan. "Contohnya, hidup di kota yang tidak ramah manusia, keadaan kota yang macet, faktor kemiskinan, kesenjangan sosial, kompetisi tidak sehat, budaya instan dan populasi yang begitu padat," ujarnya.
Baca Juga: Edukasi Kesehatan Mental Guna Mewujudkan Remaja Sehat Fisik, Psikis dan Sosial
Nova menambahkan, kegiatan seperti pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 ini juga telah meningkatkan level stres dalam keseharian hidup warga Jakarta dalam beberapa bulan terakhir.