Suara.com - Mengidap tuberkulosis (TB) bukan perkara mudah untuk diterima sebagian orang. Butuh kesadaran yang tinggi dari pasien untuk mau menyelesaikan pengobatan tanpa henti, setiap hari selama enam bulan.
Jika pengobatan tak dilakukan, maka pasien TB reguler bisa mengidap penyakit TB lanjutan atau MDR (multidrug resistant tuberculosis), karena bakteri TB sudah resisten dengan obat-obatan sebelumnya. Pada fase ini, pasien harus menjalani pengobatan tanpa henti minimal 20 bulan, dengan jumlah obat yang sangat banyak.
Hal ini dialami oleh seorang pasien asal Rangkasbitung, Banten, bernama Tata Ardita (32). Ia pertama kali didiagnosis mengidap TB pada 2010 lalu, saat bekerja di kantin. Tata mengaku dirinya menjalani pengobatan tanpa henti selama enam bulan hingga didiagnosis sembuh.
Namun pada 2012, ia kembali tertular TB. Tata kembali harus menjalani pengobatan hingga dinyatakan sembuh. Lantas, ia pun kembali bekerja, hingga suatu hari Tata lagi-lagi merasakan gejala batuk tak biasa. Ketika memeriksakan diri, dokter mendiagnosa bahwa ia mengidap TB MDR.
"Pada saat itu, saya dirujuk ke RSUP Persahabatan karena hasil dahak saya positif TB MDR. Tapi saya tidak langsung obati, karena pengobatannya lama sampai 2 tahun dan saya juga takut disuntik," ujar Tata, berbicara pada peringatan Hari TB Sedunia.
Tata pun memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Silaturahim dengan keluarga yang seharusnya menyenangkan, harus terhalang dengan keluhan batuk yang terus-menerus dialaminya. Ia juga merasakan tubuhnya panas-dingin dan nafsu makan yang terus menurun.
Ia lantas teringat pesan dokter, bahwa jika penyakitnya tak diobati maka ia bisa menularkannya ke orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarga. Di situlah Tata kemudian memutuskan untuk kembali ke Jakarta guna menjalani pengobatan TB MDR.
"Saya berpikir, kalau nggak saya obatin, kasihan keluarga. Akhirnya, (tahun) 2015 saya balik ke Jakarta, tapi nggak langsung berobat MDR. Ketika saya drop, lalu ke Puskesmas, dan di situ saya dirujuk ke RSUP Persahabatan," tambah dia.
Di rumah sakit rujukan nasional untuk masalah respirasi ini, Tata menjalani pengobatan MDR selama 21 bulan. Delapan bulan pertama, tubuhnya disuntik setiap hari bagian kiri dan kanan. Jumlah obat yang harus dikonsumsinya setiap hari mencapai 13 butir.
"Efek samping yang saya rasakan (adalah) mual, muntah, pendengaran berkurang, sendi sakit. Saya juga jauh dari keluarga selama pengobatan, karena pengen sembuh dulu, biar nggak menularkan ke mereka," tambah perempuan berhijab ini.
Hingga akhirnya, berkat keseriusannya untuk menjalani pengobatan, Tata berhasil mendapatkan kesembuhan pada Januari 2017 lalu. Kini ia aktif dalam organisasi Pejuang Tangguh (Peta) yang berkonsentrasi mensosialisasikan tentang pentingnya pengobatan bagi para pengidap TB.
Dokter spesialis paru RSUP Persahabatan, Erlina Burhan, mengatakan bahwa jumlah pasien TB MDR yang putus obat di tempatnya mencapai 30 persen. Padahal, obat yang diberikan tidak memungut biaya sepeser pun dari pasien meski harganya sangat mahal.
Untuk itu, Erlina mengimbau agar pasien TB MDR meningkatkan kesadarannya untuk menjalani pengobatan hingga tuntas, guna menekan penularan TB MDR ke orang-orang di sekitarnya.
"Kalau tertular dari pasien TB MDR itu dan saat itu imunitas rendah, kita bisa langsung mengidap TB MDR. Jadi bukan dari TB regular tadi. Dan pengobatannya sangat lama dan jumlah obatnya banyak. Tapi (kini) sedang dikembangkan obat baru, sehingga durasi pengobatan bisa 9-10 bulan," pungkas dia.
Sempat Tolak Berobat, Pasien TB MDR Ini Akhirnya Sembuh
Sabtu, 25 Maret 2017 | 14:36 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
WHO Tetapkan TB Penyakit Menular Paling Mematikan, Eliminasi Harus Dimulai dari Pencegahan
18 November 2024 | 14:21 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI