Suara.com - Seorang mahasiswi tingkat akhir Universitas of Aberdeen, Skotlandia, baru menyadari timbulnya bercak-bercak merah bersisik di kulitnya di usia 23 tahun.
Beth Webster, demikian nama mahasiswi itu, memperhatikan, bercak-bercak itu ternyata ada di seluruh tubuhnya dan merata tersebar dalam waktu empat bulan terakhir.
Penyakit kulit Webster justru parah pada saat ia akan mendapat gelar sarjana. Masa-masa ujian dilaluinya dengan tingkat stres tinggi. Seperti dilansir NHS Choice, ketika konsultasi ke dokter, mulanya dokter menebak Webster menderita penyakit kulit biasa, kudis.
Dokter menebaknya demikian, karena Webster mengaku gatal pada bercak-bercak merah itu. Untuk mengatasi gangguan kulitnya, Webster diberi obat berupa krim yang harus dioleskan pada bercak-bercak merahnya setiap hari.
“Karena bercak-bercak itu merata di seluruh tubuhku, maka ketika akan pergi, aku terpaksa mandi tiga jam sebelumnya. Waktu tiga jam itu aku gunakan untuk mengoleskan krim di setiap bercak merah itu,” ujarnya dilansir Daily Mail.
Krim itu harus rutin dioleskan ke kulitnya empat kali sehari. Sebenarnya Webster mengaku sangat malu ketika harus keluar rumah. Demikian juga ketika harus pergi kuliah, karena banyak orang akan bertanya, “Mengapa kulitnya bersisik?”
Pada awal Webster didiagnosa, ia disarankan dokter untuk tidak terlalu dekat dengan anggota keluarga lainnya atau pacarnya, karena penyakitnya dianggap menular.
Ketika itu ia belum mengerti benar bahwa tingkat stresnyalah yang menyebabkan bercak-bercak di kulitnya semakin banyak. Semakin ia stres, maka gangguan kulitnya semakin parah.
Setelah beberapa waktu melalui pengobatan krim ini, ternyata penyakit kulitnya masih berlanjut. Webster kembali ke dokter dan ia didiagnosa menderita psoriasis.
Psoriasis merupakan kondisi dimana kulit berwarna merah, bersisik, berkerak, dan tertutup sisik berwarna keperakan. Untuk mengatasi psoriasisnya tersebut, dokter meresepkan gel steroid, Dovobet.
Kini Lebih Percaya Diri
Ketika menyadari pertama kali pada penyakit kulitnya, Webster mengaku depresi dan malu. Apalagi orang sering bertanya soal penyakit yang dialaminya.
Beberapa bulan setelah mengurung diri, kini ia mengaku lebih percaya diri. Ia kini mulai mau bepergian.
Jika pergi di malam hari, Webster menggunakan gaun panjang plus tangan panjang, demi menutupi kulit-kulitnya yang mengelupas, yang mungkin mengundang tanya orang.
Kalau sedang meluangkan waktu di rumah, Webster membaca-baca blog yang ditulis oleh penderita psoriasis lain.
Ketika mengetahui “Kampanye Tanpa Malu ke Luar Rumah” yang ditulis
seorang penderita psoriasis, Webster merasa lebih bersemangat. Ia berpendapat, jika mereka bisa melakukannya, demikian juga dengan dirinya.
“Ini menunjukkan bahwa mereka merasa normal dan tak perlu takut untuk keluar rumah. Ini membuat saya lebih percaya diri,” katanya.
Saat ini Webster sedang mendapatkan pengobatan intensif berupa terapi sinar ultraviolet. Tahap pertama telah dilewatinya, yaitu penyinaran selama 17 menit.
Kini Webster sedang melakukan sesi penyinaran kedua, selama tiga menit, yang harus dilewatinya selama 42 kali. Setengah proses pengobatan sudah dilaluinya dan saat ini sebagian luka Webster telah kering.
“Saya kini lebih optimistis dan lebih peduli pada orang lain. Saya ingin membagi pengalaman saya dengan orang lain, agar mereka tidak merasa buruk walau menderita psoriasis,” ujarnya. (Nessy Febrinastri)