Suara.com - Laporan Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia priode 1987– 30 Juni 2015 sebanyak 291.465 yang terdiri atas 208.909 HIV dan 82.556 AIDS dengan 14.234 kematian.
Estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 600.000, yang terdeteksi baru separuh. Dari jumlah yang terdeteksi baru 70.000-an yang meminum obat antiretrorival (ARV).
Yang perlu diingat adalah kasus yang terdeteksi tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya ada di masyarakat. “Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es,” kata Syaiful W. Harahap, aktivis di “AIDS Watch Indonesia” di Jakarta, Kamis (1/12/2016), bertepatan dengan peringatan Hari AIDS Sedunia.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa fenomena gunung es adalah kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut. Sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Dalam epidemi HIV/AIDS yang jadi masalah besar adalah kasus yang tidak terdeteksi. “Artinya, warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat,” ujar Syaiful.
Yang perlu dilakukan adalah program yang bisa menemukan warga yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. “Tapi, perlu diingat jangan sampai melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM),” kata Syaiful mengingatkan.
Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah kota dan pemerintah kabupaten di adalah membuat peraturan derah (Perda) yang mewajibkan ibu rumah tangga yang sedang hamil dan suaminya menjalani konseling HIV/AIDS di sarana kesehatan pemerintah atau swasta yang ditunjuk pemerintah.
Jika dari hasil konseling tersebut, ada indikasi perilaku seksual suami berisiko tertular HIV, maka suami wajib menjalani tes HIV. Kalau hasil tes menunjukkan suami positif tertular HIV istrinya pun menjalani tes HIV.
Langkah tersebut, menurut Syaiful, ibarat sekali dayung dua pulau terlampaui. Pertama, bisa terdeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS, yaitu suami, sehingga bisa diputus mata rantai penyebaran HIV/AIDS melalui si suami ke perempuan atau pasangan seks yang lain.
Kedua, kalau si istri juga tertular HIV bisa dijalankan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Ketiga, program pencegahan akan melahirkan anak-anak yang bebas HIV/AIDS.
Bayi yang Lahir di Thailand Bebas HIV/AIDS
Program pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya akan efektif jika dilakukan pada saat hamil muda. Pencegahan dilakukan dengan pemberian obat ARV kepada ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS agar tidak terjadi penularan vertikal ke bayi yang dikandungnya.
Sejauh ini baru Thailand yang menyatakan bahwa bayi-bayi yang lahir di Negeri “Gajah Putih” itu bebas HIV/AIDS. Ini berkat program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret dan konsisten di Thailand.
Banyak daerah di Indonesia yang berlomba-lomba membuat Perda Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS, tapi tidak ada satu pun pasal yang menukik ke akar persoalan sehingga perda-perda itu tidak efektif menanggulangi HIV/AIDS.
Sampai sekarang sudah ada 105 peraturan terkait AIDS mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yaitu: Perda 21 provinsi, 53 kabupaten dan 22 kota, serta 4 Pergub, 5 Perbup dan 1 Perwali.
Program yang banyak dijalankan adalah tes HIV dengan berbagai macam bentuk. “Program ini ada di hilir,” kata Syaiful. Artinya, dibiarkan dulu warga tertular HIV baru dites.
Yang diperlukan adalah program di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). “Celakanya, praktek PSK di Indonesia tidak dilokalisir sehingga pemerintah tidak bisa menjalankan program yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK,” ujar Syaiful.
Risiko insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa di satu daerah, seperti kabupaten dan kota, dapat diketahui melalui perilaku seksual sebagian laki-laki dewasa, apakah mereka: (a) pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di daerahnya atau di luar daerah, dan (b) pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) di daerahnya artau di luar daerah.
Sosialisasi Harus Gencar
Dalam kaitan itulah perlu sosialisasi yang gencar agar laki-laki yang pernah atau sering melakukan perilaku (a) dan (b) menjalani tes HIV. Bisa juga dengan melatih tenaga penjangkau untuk mendekati orang-orang yang sering melakukan perilaku (a) dan (b) agar mereka mau melakukan tes HIV. Soal keengganan orang datang ke tempat tes HIV, “Bukan karena malu, tapi banyak orang yang tidak menyadari perilaku seksualnya berisiko tertular HIV/AIDS,” kata Syaiful.
Jika hanya menunggu kasus HIV/AIDS melalui warga yang datang berobat karena sakit dengan ciri-ciri penyakit terkait AIDS, itu artinya penanggulangan pasif. Warga dibiarkan tertular HIV dahulu baru ditangani.
Celakanya, “Kalau ini yang dilakukan sebelum orang-orang yang sakit tadi berobat dan menjalani tes HIV mereka sudah menularkan HIV ke orang lain sehingga kasus HIV/AIDS kian banyak di masyarakat,” kata Syaiful.
Yang jadi persoalan adalah praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung, seperti perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, perempuan kafe, perempuan biliar, anak sekolah, mahasiswi, dan lain-lain, karena tidak bisa diintervensi.
Praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung terjadi disembarang tempat dan sembarang waktu sehingga program penanggulangan tidak bisa dilancarkan secara efektif.
Jika ada panti pijat plus-plus dan praktek pelacuran terselubung, itu artinya ada risiko insiden penularan HIV pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di sana. “Laki-laki yang tertular HIV/AIDS tidak menyadarinya sehingga mereka menularkan HIV/AIDS ke orang lain, terutama ke istrinya,” kata Bang Syaiful.
Sebaliknya, biarpun tidak ada panti pijat plus-plus dan praktek pelacuran terselubung bisa saja ada laki-laki dewasa yang melakukan perilaku seks berisiko di luar daerahnya. Jika ada di antara mereka yang tertular, maka mereka pun akan menyebaran HIV/AIDS di daerahnya, terutama ke istrinya.
Untuk itulah perlu mekanisme yang realistis untuk mendeteksi warga yang sudah tertular HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, antara lain melalui Perda yang mewajibkan pasangan suami-istri konseling HIV ketika si istri sedang hamil.
Memprihatinkan, Kasus HIV/AIDS di Indonesia Nyaris Tembus 300.000
Ririn Indriani Suara.Com
Kamis, 01 Desember 2016 | 07:30 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
REKOMENDASI
TERKINI
Health | 12:18 WIB
Health | 10:30 WIB
Health | 14:21 WIB
Health | 14:12 WIB
Health | 12:11 WIB
Health | 11:15 WIB