Suara.com - Penggunaan obat-obatan antibiotik yang berlebihan atau tak tepat pada manusia dapat meningkatkan jumlah resistensi antibiotik di seluruh dunia. Data WHO pada 2013 mencatat adanya 7000 kematian per tahun di dunia yang disebabkan oleh resistensi antibiotik.
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba, dr Harry Parathon, SpOG(K) mengatakan bahwa penggunaan antibiotik yang tak bijak dapat mendorong peningkatan kasus resistensi antibiotik. Kondisi ini menurutnya dapat terjadi, karena ketidaktahuan dokter akan bahaya pemberian antibiotik pada beberapa penyakit yang bukan dipicu oleh infeksi bakteri.
"Misal batuk pilek itu jangan dikasih antibiotik, atau operasi kecil dicuci bersih saja nggak perlu pakai antibiotik. Tapi sayangnya masih banyak dokter yang memberikan antibiotik untuk hal yang tidak mendesak, akhirnya bakteri kebal sama antibiotik itu sehingga kalau ada penyakit lagi nggak mempan diberi antibiotik tersebut," ujarnya pada Pekan Peduli Antibiotik 2016 di Hotel JW Marriot Jakarta, Selasa (22/11/2016).
Lebih lanjut Harry mengatakan bahwa dokter juga tak bisa disalahkan, karena tidak semua fakultas kedokteran di Indonesia memiliki kurikulum yang membahas mengenai penggunaan antibiotik. Untuk itu ia berupaya melobi Kementerian Riset dan Teknologi, serta Kementerian Kesehatan untuk memasukkan pemahaman mengenai antibiotik dalam pendidikan kedokteran.
"Masyarakat juga harus cerdas. Ketika diberi antibiotik saat mengalami flu dan batuk tanya dulu ke dokter apakah tubuhnya benar-benar membutuhkan antibiotik tersebut. Jangan sungkan, karena kasus resistensi antibiotik itu tinggi sekali sekarang," tambah dia.
Seperti diketahui, penggunaan antibiotik ditujukan untuk menangani kasus penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Pasien yang diberi antibiotik harus menghabiskan obat tersebut sesuai dengan resep yang dianjurkan dokter.