Penyenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bertanggung jawab, yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian, dan kewenangan yang secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, perizinan, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Pandangan ini disampaikan koordinator Bidan Indonesia Pengguna Alat USG (ultrasonografi), Novi Maharani pada workshop dan pelatihan bidan di Malang, Jawa Timur, Selasa (9/8/2016).
Menurut Novi, profesi bidan merupakan profesi fungsional, artinya setiap negara memiliki bidan. Bidan adalah tenaga profesional yang bekerja secara akuntabel. Bidan sebagai partnership perempuan memiliki kewajiban memberikan pelayanan dan konseling kepada ibu hamil dan calon ibu, memberikan hak wanita dan hak asasinya, serta advokasi.
"Bidan juga merupakan profesi otonom sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan," kata Novi dalam keterangan tertulis, Selasa (9/8/2016).
Dipaparkan Novi, berdasarkan data statistik Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), terdapat 87 persen ibu hamil yang melakukan check up ke bidan. Menurut data Kemenkes, 67 persen ibu hamil melahirkan dengan bantuan bidan dan 76,6 persen pelayanan Keluarga Berencana (KB) dilakukan oleh bidan.
"Pada titik inilah, bidan sangat berperan dalam pengurangan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) sebagaimana tujuan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat," ujarnya.
Menurut Novi, bidan mempergunakan alat USG sebagai alat bantu untuk menunjang atau menguatkan pemeriksaan secara manual, bukan memeriksa atau menemukan hal-hal yang bukan kewenangan bidan.
Lebih lanjut dikatakan Novi, pada saat bidan berjuang meningkatkan pelayanan yang bermanfaat untuk masyarakat utamanya di daerah terpencil dan tak terjangkau oleh fasilitas kesehatan yang tak memadai, bidan dituntut untuk melayani dengan pelayanan yang maksimal serta mengambil tindakan yang cepat dan tepat dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) sebagaimana prioritas Pemerintah dalam mewujudkan kesehatan masyarakat.
"Di lain sisi, bidan dibatasi oleh kebijakan yang belum mendukung, bidan menerima tekanan, intimidasi, bahkan ancaman oknum tertentu yang dirasakan oleh bidan pemakai USG di beberapa daerah. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan organisasi IBI itu sendiri," jelasnya.
Novi menuturkan, pemanfaatan alat USG oleh bidan, justru memberikan manfaat yang sangat luar biasa bagi pasien-pasien.
"Bidan berharap pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI menerbitkan peraturan penggunaan alat USG bagi bidan, sehingga tujuan pelayanan yang berkualitas terhadap pasien terwujud," tukasnya.