Kecanduan Gadget Bisa Bikin Anak Jadi Egois

Ririn Indriani Suara.Com
Sabtu, 28 Mei 2016 | 19:09 WIB
Kecanduan Gadget Bisa Bikin Anak Jadi Egois
Ilustrasi anak bermain gadget. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kehadiran teknologi ponsel pintar dan tablet termutakhir yang didukung internet berkecepatan 4G, kalau tidak disikapi dengan bijak pelan-pelan tapi pasti menjadikan anak sebagai pribadi yang makin dimiskinkan.

"Memang, kemajuan teknologi membawa banyak kemudahan bagi manusia. Namun, ada juga dampak negatifnya. Anak-anak kini asyik bercengkrama dengan beragam aplikasi game di smartphone, tablet dan komputer. Bahkan, tidak sedikit yang kini suka nongkrong di game center hingga berjam-jam lamanya," terang Peneliti Merapi Cultural Institute (MCI), Gendhotwukir.

Peneliti yang pernah mengenyam pendidikan di Philosophisch-Theologische Hochschule Sankt Augustin Jermanini mengaku khawatir dengan makin canggih dan suburnya teknologi modern yang terus merengsek ke pelosok-pelosok desa, entah melalui gadget dengan benchmark yang makin mumpuni atau dengan menjamurnya game-game center hingga di gang-gang perkampungan dan pelosok-pelosok desa.

"Permainan berbasis teknologi memang kaya sensasi, mengasyikkan dan penuh fantasi. Game-game modern menjadi lebih praktis, karena tak memerlukan tanah lapang dan banyak teman seperti dalam permainan tradisional. Cukup sendirian di depan layar komputer, smartphone atau tablet, seseorang bisa terjun dalam dunia permainan yang mengasyikkan," imbuhnya.

Namun di balik kemudahan yang didapat dari game-game modern, terang salah satu Pendiri Rumah Baca Komunitas Merapi (RBKM) di lereng Gunung Merapi ini, ada aspek eksistensial seseorang yang makin tersamar. Ia menilai game-game modern yang makin canggih cenderung mengarahkan dan membentuk seseorang menjadi pribadi yang individualis dan egois.

"Anak benar-benar menjadi generasi ‘menunduk’. Anak cenderung menciptakan dunianya sendiri dan menikmatinya seorang diri. Ia semakin berjarak dari dunia nyata. Ia semakin teralienasi (terasing) dari dunia sekitarnya. Saking asyiknya, saat dipanggil pun kadang tidak mendengar. Egoisme terbentuk karena pembiasaan," terangnya.

Anak membangun dunianya sendiri dalam mesin yang menakjubkan dan lambat laun mesin itu menguasainya. Karena kecanduan, lanjut Gendhotwukir, anak tidak lagi merasakan diri sebagai pembawa aktif dari kekuatan dan kekayaannya, tetapi sebagai benda yang dimiskinkan, yang tergantung pada kekuatan di luar dirinya.

"Dalam game-game modern anak bertamasya ke dunia bentukannya sendiri dan berkuasa atasnya. Tetapi sebenarnya, ia tidak mencipta fantasi maupun ilusi. Ia hanya memakai saja sarana yang sudah ada dan terformat sedemikian rupa. Ia masuk ke sebuah dunia mikrokosmos tanpa pengembaraan, tanpa keriangan dan rasa takjub. Ia hanya takjub pada citraan simulasi," tegas peneliti yang intensif menekuni Cultural Studies ini.

Gendhotwukir menjelaskan dalam game-game modern, anak bukanlah pencipta, melainkan hanya pemakai. Lawan yang ada, kata dia, bukanlah manusia, tetapi ikon-ikon dalam dunia maya yang telah diprogram. Maka, yang dihasilkan adalah kemabukan pada ikon-ikon maya, sekadar kenikmatan (ekstasi) kecepatan pengoperasian keypad, layar sentuh atau keyboard.

Satu hal yang sering tidak disadari, tambah Gendhotwukir, ketika mesin-mesin yang diciptakan itu mulai menguasai manusia, nilai-nilai manusiawi pelan-pelan ditiadakan. Yang terjadi adalah pemiskinan makna bersosialisasi yang mengarah pada hilangnya kepekaan sosial. Akibatnya, seseorang jadi semakin teralienasi dari lingkungan dan dunia riilnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI