Kisah Ahli Kesehatan yang Resisten Terhadap Antibiotik

Esti Utami Suara.Com
Rabu, 05 Agustus 2015 | 13:57 WIB
Kisah Ahli Kesehatan yang Resisten Terhadap Antibiotik
Prof. DR. dr Rianto Setiabudy. (suara.com/Firsta Nodia)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pal, berhati-hatilah mengonsumsi antibiotik, apalagi jika Anda mengonsumsinya tanpa resep dokter. Pasalnya, penggunaan antibiotik yang tak tepat bisa menyebabkan penyakit kebal terhadap obat tersebut, akibatnya pengobatan menjadi lebih sulit dan risiko kematian pun meningkat.

Hal ini pulalah yang dialami oleh seorang Guru Besar Farmakologi Universitas Indonesia, Prof. DR. dr Rianto Setiabudy. Sebagai pengajar, Rianto berkewajiban memberikan pemahaman mengenai penggunaan antibiotik yang rasional dan benar. Tapi ia sendiri ternyata tak mempraktekkanya dengan benar.

Hingga pada suatu hari, Rianto mengalami keluhan tak beres pada tubuhnya yang ternyata merupakan gejala dari Dengue Shock Syndrome yang disebabkan oleh resisten terhadap banyak obat.

"Saya merasa ada yang tidak beres. Tidak enak badan, tapi seperti ada yang lain. Saya rasa ini bisa diobati dengan paracetamol tidak dengan antibiotik. Ternyata kadar trombosit semakin menurun sehingga harus dirawat di ICU," kata Prof Rianto dalam seminar "Cegah Resistensi Antibiotik Demi Selamatkan Manusia" di Jakarta, Rabu (5/8/2015).

Setelah dirawat di ICU, kondisi Rianto bukannya semakin membaik tapi justru memburuk. Tubuhnya menggigil hingga tempat tidurnya pun ikut bergoyang.

Sampai pada hari ketiga dirawat, Ia bertanya ke dokter tentang presentase harapan hidupnya.

"Berhari-hari saya bertahan hidup dan mati. Harus memakai masker oksigen dan mendapat infus di bagian kaki karena di vena tangan sudah hancur dengan beragam suntikan. Teman sejawat saya yang menangani seperti menyembunyikan sesuatu. Karena kondisi semakin memburuk saya memanggi istri dan memberikan pesan bahwa saya sudah siap untuk pergi," imbuhnya.

Beruntung, Tuhan masih memberikannya kesempatan melanjutkan hidup. Hari keenam dirawat, kondisinya mulai membaik meski trombositnya menurun drastis.

"Hari ke sembilan saya sudah boleh pulang. Multi drug resistance yang saya alami hampir merenggut nyawa saya. Untung ada satu jenis antibiotik yang bisa saya minum," sambungnya.

Riyanto berharap kisah pilu yang hampir merenggut nyawanya bisa mengingatkan orang lain agar tidak sembarangan mengonsumsi antibiotik. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk penanganan penyakit akibat resisten antibiotik.

"Karena saya PNS tentu biaya perawatan saya di cover oleh ASKES tetapi di luar itu saya harus menambahkan biaya hingga 36 juta. Itupun belum termasuk honor para dokter yang tidak meminta bayaran karena masih teman sejawat saya," tutupnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI