Mengenal Penyakit yang Diperangi Dengan "Ice Bucket Challenge"

Rabu, 10 Juni 2015 | 14:53 WIB
Mengenal Penyakit yang Diperangi Dengan "Ice Bucket Challenge"
Paris Hilton saat mengikuti tantangan "ALS Ice Bucket Challenge" (Instagram/ParisHilton)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Masih ingatkah dengan Ice bucket challenge yang sempat booming beberapa waktu lalu? Sebuah tantangan yang mengharuskan seseorang menyiram seluruh tubuhnya dengan air dingin dan es batu.

Tantangan yang juga sering disebut sebagai ALS Ice bucket challenge ini merupakan gerakan amal yang bertujuan untuk mengumpulkan dana agar bisa membiayakan penelitian dan riset, untuk menemukan obat yang bisa menyembuhkan penyakit ALS alias amyotrophic lateral sclerosis. Ya, dari sinilah sedikit banyaknya kita mulai mengetahui apa itu penyakit ALS.

Sejumlah publik figur dunia, seperti Justin Timberlake, David Bechkam hingga Mark Zuckerberg melakukan tantangan ini. Tak heran, karena dibutuhkan biaya besar untuk meneliti penyembuhan penyakit ini.  

Data internasional menunjukkan bahwa insiden pasien terkena ALS adalah 2 per 100ribu orang, sedangkan prevalensinya adalah 6 pasien per 100 ribu orang.

Menurut dr. Sheila Agustini, SpS spesialis saraf dari RS Mayapada, Jakarta, ALS adalah keadaan di mana terjadi degenerasi yang progresif pada sel-sel saraf motor di otak dan sumsum tulang belakang.

Biasanya, sel-sel motor ini mengendalikan otot yang membuat seseorang dapat bergerak, berbicara, menelan, bahkan yang paling krusial adalah untuk bernafas.

"Tanpa diaktifasi oleh saraf, otot-otot ini melemah dan berangsur habis. Namun, perlu diketahui bahwa ALS bukanlah oenyakit menular," ujar dia beberapa waktu lalu di Rumah Sakit Mayapada, Jakarta.

Seseorang yang terkena ALS umumnya ditandai dengan pelemahan otot dan kelumpuhan yang terwujud pada kecacatan dalam menggerakan tangan, kaki, menelan, berbicara hingga bernafas.

Meski begitu, dijelaskan dr. Sheila, gejala ALS tidaklah spesifik. "Seringkali malah tidak terdiagnosis pada stadium dini," ujarnya.

Keluhan saat stadium dini ditandai dengan kram, kedutan, otot mengecil, gangguan bicara, hingga gangguan menelan. Secara fisik, gejalanya seperti kelelahan, gangguan keseimbangan, atau bicara pelo. Tanda ini kata dia, memang mirip dengan beberapa penyakit lain, dan inilah yang membuat ALS menjadi sulit didiagnosa pada stadium dini.

Untuk menegakkan diagnosis ALS, Sheila mengatakan cukup membutuhkan waktu yang lama. Bahkan ada pasien ALS yang membutuhkan waktu setahun hingga akhirnya dia didiagnosis ALS.

"Kalau saat kram-kram datang ke kita, kita nggak bisa langsung bilang kalau itu ALS. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk mendiagnosis bahwa itu ALS," pungkasnya.

Sheila menambahkan, sampai saat ini belum ada obat spesifik untuk menyembuhkan ALS. Yang ada, barulah obat yang memperlambat perkembangan penyakit ini. Sisanya, adalah obat-obatan yang bertujuan untuk meredakan simtom yang dialami oleh pasien ALS.

"Obat diberikan sesuai dengan gejala yang paling mengganggu," katanya.

Walaupun ALS dapat menyerang siapa saja dan kapan saja, pasien ALS utamanya berumur antara 40 hingga 70 tahun, dengan insiden yang lebih tinggi pada kelompok umur di atas 50 tahun. Perjalanan penyakit ALS terbilang cepat. Dengan tingkat harapan hidup rata-rata pasien ALS antara 2-5 tahun. Meski begitu, kata dr. Sheila, beberapa pasien ada yang bsa bertahan hingga 10 tahun.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI