Stok Obat ARV Kosong, Nyawa ODHA di Ambon dan Klaten Terancam

Ririn Indriani Suara.Com
Selasa, 09 Juni 2015 | 13:21 WIB
Stok Obat ARV Kosong, Nyawa ODHA di Ambon dan Klaten Terancam
Ilustrasi HIV/AIDS. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Orang dengan HIV (ODHA) di Ambon dan Klaten diresahkan dengan putusnya stok obat ARV selama beberapa kali dalam kurun waktu dua bulan ini. Padahal, obat ARV adalah obat yang harus dikonsumsi seumur hidup oleh ODHA guna menekan tingkat HIV dalam tubuh.

Aditya Wardhana dari LSM Indonesia AIDS Coalition (LSM IAC) mengatakan bahwa obat ARV selain sebagai peningkat kualitas kesehatan ODHA, juga mampu berperan untuk mencegah penularan.  "ODHA yang rajin mengonsumsi ARV dan tingkat HIV dalam tubuh bisa ditekan, maka ia tidak akan menularkan HIV kepada orang lain," jelasnya dalam siara pers yang diterima suara.com di Jakarta, Selasa (9/6/2015).

Ketiadaan stok obat ARV ini, lanjut Aditya, sangat berbahaya bagi ODHA. Sebab obat yang harus dikonsumsi teratur setiap harinya ini tidak boleh terputus dikonsumsi. Jika terputus maka akan menimbulkan potensi resistensi obat sehingga obat jenis tersebut tidak mempan lagi di tubuh pasien dan bisa mengembangkan tipe HIV yang resisten sehingga sangat berbahaya jika sampai menular.

LSM Indonesia AIDS Coalition (IAC) yang membuka ruang pelaporan stok ARV di Facebook dengan nama Group Monitoring ARV, menerima laporan dan keluhan dari para ODHA yang ada di Ambon dan Klaten terkait dengan kekosongan ini. "Jenis ARV yang kosong adalah jenis Fixed Dose Combination untuk Klaten dan jenis Evafirenz untuk di Ambon," ungkapnya.

Adutya mengatakan kekosongan ini bukan kali pertama terjadi. LSM IAC mencatat bahwa dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, setiap tahun pasti terjadi 10-15 kasus kekosongan obat ARV ini di beberapa rumah sakit di Indonesia.

Kondisi ini, lanjut dia, tentu saja sangat membahayakan, karena selain mengancam nyawa ODHA juga berpotensi menyebabkan merebaknya virus yang resisten dengan obat ARV sehingga makin menyulitkan pengendaliannya.

Lebih lanjut Aditya mengatakan seorang ODHA di Ambon bernama Evilin mengatakan bahwa dia dan teman-temannya sejak Kamis pekan lalu tidak minum obat ARV. Ini dikarenakan stok obat ARV di Rumah Sakit Dr. M Haulussy, kosong sejak pekan lalu. Persoalan ini pun bukan baru kali pertama terjadi di RS di Ambon ini.

“Kelihatannya pemerintah kita terlalu mementingkan aspek kualitas daripada kualitas dalam pengobatan ODHA. Mereka terpacu dengan target sekian puluh ribu orang harus di tes dan diberi obat ARV namun seolah tidak peduli dengan kasus-kasus kekosongan obat ARV yang bisa mengancam nyawa ODHA.”, kata Irwandy Widjaja, ARV monitoring officer di LSM IAC.

Penyebab kekosongan ini, berdasarkan pendataan IAC, terjadi karena banyak hal. Mulai dari terlambatnya pelaporan RS ke Kementerian Kesehatan (kemenkes), salahnya pengisian laporan, salah kalkulasi dan hal teknis lainnya yang sebenarnya bisa dengan secara mudah diatasi jika Kemenkes mempunyai sistem distribusi obat yang baik.

Kekosongan obat ARV ini, lanjut Irwandy, juga adalah salah satu bentuk pemborosan keuangan negara. Karena obat ARV selama ini dibeli dengan dana APBN dengan tujuan menurunkan tingkat kematian serta menyehatkan ODHA.

Namun, nyatanya jika kerap kali terjadi kekosongan semacam ini, maka investasi negara sebesar kurang lebih Rp300 miliar setiap tahunnya bisa berkurang manfaatnya.

Beranjak dari fakta tersebut,kKemenkes dan dinas kesehatan (dinkes) harus benar-benar serius menanggapi keluhan para ODHA ini. Kekosongan obat ARV selain mengancam nyawa juga berbahaya bagi kesehatan publik secara umum jika sampai terjadi penyebaran virus yang sudah resisten dengan obat ARV ini.

"Pemerintah diharapkan mau duduk bersama dengan layanan RS serta ODHA sebagai pasien untuk bersama-sama merumuskan mekanisme yang mampu mencegah situasi kekosongan obat ARV semacam in," jelas Irwandy.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI