Peneliti UGM: Tes Keperawanan Timbulkan Trauma

Tomi Tresnady Suara.Com
Rabu, 26 November 2014 | 06:37 WIB
Peneliti UGM: Tes Keperawanan Timbulkan Trauma
Ilustrasi Polisi Wanita (Polwan). (Antara/Adhitya Hendra)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tes keperawanan secara fisik dapat menimbulkan trauma bagi perempuan yang mengikuti seleksi calon polisi wanita, kata peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Dewi Haryani Susilastuti.

"Tes keperawanan merupakan pengalaman buruk bagi perempuan yang mengikuti seleksi masuk kepolisian," kata Dewi pada peringatan Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, di Yogyakarta, Selasa (25/11/2014).

Menurut Dewi, laporan Human Right Watch menyebutkan praktik tes keperawanan ternyata masih dijalankan kepolisian meskipun secara formal syarat tersebut telah dihapuskan sejak era reformasi.

"Hal itu sungguh ironis. Saat sebuah institusi yang salah satu mandatnya adalah memberikan perlindungan terhadap perempuan, justru melakukan praktik yang represif terhadap perempuan," kata Dewi.

Ia mengatakan apa pentingnya tes keperawanan terhadap calon polisi wanita. Hal itu menunjukkan institusi kepolisian tidak benar-benar paham apa makna dan maksud dari tes keperawanan.

"Praktik tersebut jelas menunjukkan kerasnya budaya yang meminggirkan sekaligus merendahkan perempuan," kata pemerhati gender itu.

Di sisi lain, lanjut Dewi, sebuah studi menunjukkan peningkatan jumlah unit layanan bagi perempuan dan anak belum diikuti dengan meningkatnya kualitas pelayanan. Staf penyedia layanan pada unit-unit tersebut "tidak sensitif gender".

"Saya kira lembaga atau unit layanan yang sudah matang dalam jumlah itu juga kurang diikuti dengan kampanye yang gencar. Misalnya, diseminasi informasi tentang isu-isu kekerasan terhadap perempuan," katanya.

Ia mengatakan sejak berlakunya Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga pada 2004, jumlah penyedia layanan bagi korban kekerasan berbasis gender mengalami peningkatan termasuk Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di kepolisian.

"Skema organisasi dan tata kerjanya disusun melalui Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2007," katanya.

Menurut dia, unit pada tingkat Mabes Polri itu berkedudukan di bawah Direktorat I Keamanan dan Transnasional Bareskrim Polri.

"Unit itu memiliki visi memberikan perlindungan sekaligus pelayanan secara cepat dan profesional kepada perempuan dan anak yang menjadi korban dan atau saksi atas tindakan kekerasan, kejahatan 'trafficking', dan pelecehan seksual dengan empati," katanya.(Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI