Sering Makan Mie Instan? Ini Risikonya

Ririn Indriani Suara.Com
Senin, 18 Agustus 2014 | 16:17 WIB
Sering Makan Mie Instan? Ini Risikonya
Ilustrasi mi instan. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Banyak orang gemar menyantap mie instan.

Rasanya yang gurih lezat, serta cara membuatnya yang praktis dan cepat, membuat makanan ini menjadi favorit mulai dari anak-anak hingga orang tua.

Namun perlu Anda ketahui bahwa terlalu sering menyantap mie instan dapat meningkatkan risiko penyakit diabetes, jantung dan stroke.

Sebuah studi terkini yang dilakukan peneliti Korea Selatan (Korsel) menemukan bahwa perempuan yang mengonsumsi lebih banyak mie instan kemungkinan akan mengalami metabolic syndrom, terlepas sebanyak apa pun mereka berolahraga.

Manusia dengan metabolic syndrom, kata peneliti akan memiliki tekanan darah tinggi, kadar gula darah tinggi, dan meningkatnya risiko penyakit jantung, stroke, dan diabetes.

"Meskipun mie instan adalah makanan yang mudah dan cepat disajikan serta lezat, tapi makanan ini memiliki sodium yang tinggi dan lemak jenuh yang tidak sehat," ujar Hyun Shin, kandidat doktor di Harvard School of Public Health di Boston, Amerika Serikat.

Kesimpulan tersebut didapat setelah Shin dan rekan-rekannya di Baylor University dan Harvard University menganalisis kesehatan dan proses diet yang dilakukan oleh hampir 11 ribu orang dewasa usia 19-64 tahun di Korea Selatan.

Para peserta melaporkan apa yang mereka makan, entah itu makanan sehat tradisional atau fast food, serta berapa kali seminggu mereka makan mie instan.

Hasil studi menunjukkan bahwa perempuan yang makan mie instan dalam dua kali seminggu akan memiliki risiko berbahaya seperti risiko penyakit jantung, stroke, dan diabetes, daripada mereka yang jarang atau bahkan tidak pernah makan mie instan sama sekali.

"Mie instan mengandung lemak, garam, dan kalori yang sangat tinggi. Hal ini bisa berpengaruh buruk bagi kesehatan," kata Lisa Young, seorang nutritionist dan profesor dari New York University.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI