Suara.com - Beberapa apotek di kota-kota besar termasuk Jakarta, mulai menarik produk dekstro sediaan tunggal sesuai dengan amanat keputusan Kepala Badan Pengendalian Obat dan Makanan tentang Pembatalan Izin Edar Obat Mengandung Dekstrometorfan Sediaan Tunggal.
"Kami sudah menarik produk dekstrometorfan (dekstro) sesuai dengan SK Badan Pengendalian Obat dan Makanan (BPOM)," kata Sekretaris Perusahaan PT Kimia Farma Farida Astuti ketika dihubungi, Selasa (1/7/2014).
Kendati belum melakukan pengecekan langsung, Farida memastikan produk tersebut sudah tidak dijual lagi di seluruh apotek Kimia Farma.
Dia mengatakan, meski dampak kebijakan itu berpengaruh terhadap target penjualan dekstro, tidak signifikan terhadap kinerja perusahaan. "Sudah dilakukan penarikan barang," kata apoteker salah satu cabang Kimia Farma Jakarta.
Farida mengaku bahwa penarikan ini sebenarnya memang menyebabkan kerugian. Akan tetapi, dekstro itu kebanyakan salah dalam penggunaannya.
"Jadi, kami ikuti saja peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah," ujarnya.
Sekarang ini, menurut Farida, penggunaan dekstro wajib menggunakan resep dari dokter. "Dan, resepnya harus resep asli, bukan fotokopi," tegasnya.
Bukan hanya jaringan apotek Kimia Farma. Apotek swasta lainnya juga melakukan hal yang sama.
Wido dari apotek di kawasan Bintaro mengatakan bahwa di apotek tempatnya bekerja produk yang dia sebut DMP sudah ditarik.
Ia mengaku bahwa pihaknya tidak merasa terlalu rugi, mengingat harganya yang tidak terlalu mahal.
"Kalau dibilang rugi, ya, tidak terlalu karena harganya yang murah sekali, dokter juga jarang tulis itu di resepnya," kata Wido.
Oleh karena itu, dia setuju jika dekstro kemasan tunggal ditarik dari peredaran karena penggunaannya yang cenderung disalahgunakan apalagi mudah diperoleh dengan harga relatif murah.
"Lebih baik ditarik karena banyak disalahgunakan anak-anak muda yang suka mengoplos dekstro ke dalam minuman keras. Ini sangat berbahaya," ungkapnya.
Berdasarkan surat edaran BPOM, obat yang mengandung dekstrometorfan sediaan tunggal memiliki efek sedatif-disosiatif dan banyak disalahgunakan dan sudah jarang digunakan untuk terapi di kalangan medis.
Obat mengandung dekstro sediaan tunggal dalam dosis yang ditetapkan dapat memberikan efek terapi. Namun, penggunaan dalam dosis tinggi menimbulkan efek euforia dan halusinasi penglihatan maupun pendengaran.
Intoksikasi atau overdosis dekstrometorfan dapat menyebabkan hipereksitabilitas, kelelahan, berkeringat, bicara kacau, hipertensi, dan mata melotot (nystagmus). Apalagi, jika digunakan bersama dengan alkohol, efeknya bisa sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kematian.
Kepala Biro Hukum dan Humas BPOM, Budi Djanu Purwanto mengungkapkan bahwa kasus penyalahgunaan dekstro hampir terjadi di seluruh wilayah Tanah Air. Bahkan, di Jawa Barat status penyalahgunaan dekstro sudah mencapai tingkat kejadian luar biasa (KLB).
"Pemakaian narkoba di wilayah ini sudah bergeser dari sabu-sabu, putaw, ekstasi, ganja, valium, dan metadon ke dekstrometorfan tablet," jelasnya.
Apalagi, lanjut dia, kondisi yang lebih memprihatinkan bahwa penyalahgunaan tertinggi obat ini adalah para remaja atau pelajar mulai dari usia sekolah menengah atas bahkan usia sekolah dasar.
Budi mengatakan bahwa BPOM melakukan pengkajian dan pembahasan sejak 2011 dengan narasumber dan lintas sektor terkait untuk mengeluarkan rekomendasi tindak lanjut terkait dengan permasalahan ini.
"Pada bulan Juni 2013 ditetapkan bahwa tindak lanjut dari pelanggaran tersebut adalah pembatalan persetujuan NIE obat mengandung dekstrometorfan sediaan tunggal," ujarnya.
Mengonsumsi obat batuk ini harus menggunakan resep dokter. Berdasarkan SK Menteri Kesehatan No 9548/A/SK/71 tahun 1971 batas penggunaan dekstrometorfan sebagi obat tidak boleh lebih dari 16 mg. (Antara)