Suara.com - Pada tanggal 2 Maret 2020, corona virus disease (COVID-19) dikonfirmasi telah masuk ke Indonesia. Hal tersebut diketahui saat Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengumumkan dua WNI asal Depok, Jawa Barat yang positif terpapar COVID-19 dan tengah menjalani perawatan intensif di ruang isolasi Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta Utara.
Itu berarti, sudah satu tahun Indonesia masih belum bisa benar-benar memutus mata rantai –atau setidaknya mengendalikan penyebaran virus yang pertama kali dilaporkan muncul di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, pada akhir bulan Desember 2019 dan diantisipasi pada bulan Januari 2020 tersebut.
Satu tahun pandemi COVID-19 di Indonesia, belum ada tanda-tanda bahwa penularan virus bisa dikendalikan, kasus baru justru terus meningkat setiap harinya. Peraturan demi peraturan, kebijakan demi kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah, namun belum ada yang efektif memutus mata rantai penularan COVID-19.
Tingginya angka penularan COVID-19 di Indonesia dibuktikan dengan kasus COVID-19 yang menyentuh angka satu juta, tepatnya 1.012.350 kasus pada Selasa (26/1/2021). Data tersebut membuat Indonesia menjadi negara dengan kasus COVID-19 tertinggi keempat di Asia.
Pandemi yang berkepanjangan berdampak pada banyak sektor, salah satunya sektor ekonomi. Ekonomi di Indonesia mengalami kemerosotan hingga mengalami resesi ekonomi yang ditandai dengan produk domestik bruto (PDB) RI pada kuartal III-2020 minus mencapai 3,49 persen. Menurut pengamat ekonomi, masih tingginya penularan COVID-19 membuat mobilitas masyarakat menjadi rendah, dan dengan demikian mengakibatkan kelesuan perekonomian, ditambah dengan terlambatnya respon penanganan yang dilakukan pemerintah.
Selain itu, hal yang menjadi sorotan adalah kapasitas rumah sakit yang menangani pasien positif COVID-19. Menurut data dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, kapasitas rumah sakit di Ibu Kota hampir penuh meski terus menambah kapasitas seiring meningkatnya kasus COVID-19. Kapasitas yang tersisa hanya 13 persen untuk menampung pasien COVID-19. Hal tersebut diakibatkan lonjakan kasus dalam dua pekan pasca libur panjang.
Tingginya kasus positif juga sejalan dengan tingginya angka kematian akibat COVID-19.
Hal tersebut mengakibatkan lahan pemakaman khusus COVID-19 untuk wilayah DKI Jakarta menjadi semakin terbatas. Pembukaan lahan-lahan pemakaman baru pun harus segera dilakukan, seperti di tempat pemakaman umum (TPU) Srengseng Sawah, TPU Bambu Apus, serta TPU Rorotan karena lahan pemakaman khusus COVID-19 yang sebelumnya berada di TPU Pondok Ranggon sudah terisi penuh.
Untuk mengendalikan tingginya angka penularan COVID-19, baru-baru ini pemerintah Indonesia mendatangkan vaksin COVID-19 buatan perusahaan farmasi asal China, Sinovac dengan memprioritaskan tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan, serta tenaga penunjang pada tahap pertama.
Untuk tahap kedua, ada dua sub-kategori yang ditetapkan pemerintah dalam melangsungkan program vaksinasi yakni petugas publik dan masyarakat lanjut usia (lansia). Sementara target vaksinasi kelompok ketiga adalah masyarakat rentan dari aspek geospasial, sosial, dan ekonomi. Serta target keempat adalah masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya dengan pendekatan klaster sesuai ketersediaan vaksin. Adapun Vaksin yang menyasar 181,5 juta orang di Indonesia tersebut ditargetkan selesai pada bulan Maret 2022.
Namun perlu diingat, bahwa vaksin bukanlah solusi yang benar-benar efektif untuk mengatasi pandemi COVID-19. Menurut epidemiolog, tidak pernah ada sejarah dalam peradaban manusia yang mengatakan bahwa vaksin bisa mengatasi dan mengakhiri pandemi. Maka dari itu, cara paling ampuh untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19 adalah dengan penerapan protokol kesehatan 3T (testing, tracing, dan treatment) serta 5M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas).
Foto dan Teks
Suara.com/Angga Budhiyanto