Suara.com - Bulan suci Ramadhan, merupakan bulan yang paling dinanti oleh umat Muslim di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Bulan ini adalah bulan yang istimewa dibandingkan bulan-bulan yang lainnya, karena di bulan Ramadhan kitab suci Al-Quran diturunkan, bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh ampunan serta bulan yang penuh berkah. Karena keistimewaan itulah, umat Muslim memanfaatkan momen bulan Ramadhan untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Selain itu, bulan Ramadhan juga dimanfaatkan banyak umat Muslim untuk berkumpul bersama keluarga disaat menjelang berakhirnya bulan Ramadhan. Bulan ini juga identik dengan aneka kuliner yang hanya ada saat Ramadhan, ngabuburit (melakukan kegiatan untuk menunggu waktu berbuka puasa), shalat Tarawih berjamaah, berburu takjil, berbuka puasa bersama kerabat dekat atau keluarga, hingga begadang hingga dini hari untuk membangunkan sahur.
Namun, nuansa Ramadhan di tahun ini dirasa sangat berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Rutinitas-rutinitas serta kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan di bulan penuh berkah ini, untuk sementara waktu harus ditiadakan demi memutus mata rantai penyebaran pandemi Corona (COVID-19) yang saat ini tengah melanda Indonesia, termasuk DKI Jakarta yang menjadi zona merah.
Seperti kegiatan beribadah yang biasanya dilakukan secara berjamaah di masjid, pada Ramadhan tahun ini terpaksa harus ditiadakan dan digantikan dengan beribadah secara virtual. Seperti di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat, kegiatan tadarus dan shalat Tarawih dilakukan secara virtual atau secara daring guna mencegah penyebaran virus Corona (COVID-19).
Namun, beribadah secara virtual tidak bisa diterapkan oleh semua umat Muslim, beberapa diantaranya melakukan ibadah secara langsung tapi tetap menerapkan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Untuk menyiasatinya, beberapa umat Muslim beribadah berjamaah di rumah masing-masing. Seperti yang dilakukan oleh keluarga Ahmad Fauzi di Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, mereka melaksanakan shalat Tarawih berjamaah dan dilanjutkan dengan tadarus di rumah.
Selain beribadah, ada kegiatan lain yang hanya bisa dilakukan saat bulan Ramadhan, kegiatan itu adalah ngabuburit dan berburu takjil. Ngabuburit dan berburu takjil di tengah pandemi tentu harus disertai dengan kesadaran penuh akan pentingnya menerapkan jarak fisik atau ‘physical distancing.’ Sebagai contoh, warga Cempaka Putih, Jakarta Pusat mengantre untuk mendapatkan takjil gratis dengan menerapkan jarak fisik. Pihak penyelenggara memasang garis pembatas berwarna kuning dengan jarak antar garis sepanjang sekitar dua meter.
Pandemi Corona (COVID-19) tidak hanya berdampak pada berubahnya pola beribadah serta berkegiatan masyarakat di bulan Ramadhan, tetapi juga berdampak pada pendapatan para penjual makanan khas saat Ramadhan, seperti pedagang kue kering dan pedagang parsel. Para pedagang mengaku mengalami penurunan omset penjualan hingga 70 persen karena sepi pembeli.
Bulan Ramadhan yang hampir secara keseluruhan berjalan sepi dan tanpa ada kegiatan berkumpul di ruang umum ini, di penghujung berakhirnya bulan Ramadhan menjadi ramai kembali, seperti sebelum masuknya virus Corona di Indonesia, khususnya di Jakarta.
Himpitan ekonomi yang mengharuskan sejumlah warga keluar rumah untuk mencari penghidupan, keinginan yang kuat untuk berburu baju lebaran, ditambah dengan dibukanya kembali beberapa sarana transportasi umum ke luar daerah membuat Jakarta kembali ramai. Tapi tentunya, bukan keramaian dengan nuansa kebahagiaan dan suka cita, melainkan keramaian berselimut kekhawatiran serta ketakutan.
Kekhawatiran akan terus melonjaknya korban positif dan ketakutan akan virus yang belum ditemukan vaksinnya ini bisa saja menjangkiti diri kita dan orang yang kita cintai, di mana saja, dan kapan saja.