Suara.com - Terik mentari menyambut kedatangan para pelintas di Jalan Malindo, Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Debu proyek pembangunan tertiup angin mengotori kendaraan dan tubuh mereka yang melintas beranda negeri di tanah suku Dayak Bidayuh.
Sejak Presiden Joko Widodo memerintahkan kabinetnya untuk membangun Entikong pada Januari 2015, geliat perubahan terjadi di wilayah perbatasan Indonesia–Malaysia itu. Berbagai aktivitas pembangunan kentara di sana-sini.
Pos lintas batas mulai dibongkar untuk dibangun ulang dan jalan poros lintas antarnegara diperlebar. Perlahan tapi pasti, upaya menjadikan Entikong lebih baik daripada kawasan perbatasan Tebedu, Serawak, Malaysia, dilaksanakan. Nawa Cita ketiga, ‘membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan’, tak sekadar wacana, tapi mewujud dalam kerja nyata.
Tanggapan pun bermunculan di masyarakat seputar pembangunan serambi negeri di Entikong. Suara-suara dari warung kopi menyeruak, ada yang mendukung, ada yang mengeluh, dan ada pula yang tak acuh, hanya pasif mengalir seperti air.
Permasalahan mendasar seperti keterbatasan listrik, telekomunikasi, perumahan, transportasi dan jalan akses menuju daerah pelosok, serta distribusi barang kebutuhan pokok dan ketersediaan berbagai fasilitas umum di daerah berpenduduk 14.000 jiwa itu tak pelak juga harus menjadi perhatian para pemegang kebijakan negeri jika benar ingin mencapai target yang diidamkan. Faktor keamanan merupakan satu hal esensial dicermati pihak-pihak terkait mengingat letak strategis Entikong yang menjadikannya ‘jalur sutra’ bagi berbagai kepentingan.
Bukan hal yang mudah mentransformasi daerah yang dulunya dianggap ‘halaman belakang negara’. Kompleksitas problematika menjadi tantangan bagi para pemimpin bangsa. Keseriusan dan konsistensi kebijakan yang bajik sangat dibutuhkan untuk mewujudkan mimpi.
Ketika para pelintas akhirnya tiba di ujung Negeri ini, imaji Entikong yang lebih maju tentunya akan menimbulkan rasa bangga di hati mereka. Pemimpin bangsa yang konkret bekerja menyentuh daerah perbatasan dengan kerja nyata menjadi angin harapan. Deru harapan itu semoga menjadi penyegar, bukan hanya mengotori raga para pelintas.
Foto dan Teks: [Antara/Ismar Patrizki]