"Setiap ruang kosong yang dibiarkan oleh negara, dalam pendidikan, keadilan, dan keamanan, diisi oleh kekacauan. Dan itulah bentuk kritik kami," imbuhnya.
Lebih lanjut, Joko Anwar menekankan bahwa Pengepungan di Bukit Duri tidak disajikan secara verbal untuk menunjukkan siapa yang salah dan siapa yang benar.
Sutradara film Pengabdi Setan ini menolak anggapan bahwa film harus selalu menjelaskan konteks secara eksplisit agar tidak menimbulkan salah tafsir.
"Penonton kita nggak bodoh," tulisnya, menyindir pandangan yang meremehkan kapasitas penonton dalam memahami narasi kompleks.
Sebelumnya, sebagian kalangan tetap menganggap Pengepungan Bukit Duri gagal menyentuh akar persoalan rasisme di Indonesia.
Salah satu kritik datang dari pengulas di media sosial yang menyebut film ini melepas isu rasisme terhadap etnis Tionghoa dari konteks politik dan sejarah yang lebih luas.
Disebutkan bahwa film ini terlalu fokus menggambarkan masyarakat kelas bawah sebagai pelaku kekerasan.
Sayangnya, tidak ada peran elite kekuasaan yang selama ini dinilai turut memelihara sentimen rasial demi kepentingan politik.
Baca Juga: Terinspirasi dari Yayu Unru, Fatih Unru Ingin Punya Sekolah Akting Gratis
"Pengepungan di Bukit Duri hanya tajam memotret kejahatan masyarakat kelas bawah, dan bukan hanya tumpul, tapi tidak menyenggol sama sekali kejahatan mereka yang ada di struktur kekuasaan," tulisnya.