OM Lorenza: Pelipur Lara Kala Indonesia Tidak Baik-Baik Saja

Selasa, 08 April 2025 | 12:26 WIB
OM Lorenza: Pelipur Lara Kala Indonesia Tidak Baik-Baik Saja
OM Lorenza (YouTube/Mitra Vidio Shooting Jepara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ketika yang diteriakkan melalui kata tidak didengar, mungkin kita perlu rehat sebentar.

Rehat tidak berarti berhenti memperjuangkan hak-hak yang diintimidasi, maupun yang tidak pernah dipenuhi.

Melainkan menunjukkan bahwa sebagai rakyat, kita memiliki kehidupan yang dijalani di tengah negara yang tidak mengasihi.

Rehat Seperti Apa yang Kita Perlukan?

Pertanyaannya adalah rehat seperti apa yang kita perlukan.

Ilustrasi dangdutan. [Istimewa]
Ilustrasi Musik--pelipur lara di tengah Indonesia tidak baik-baik saja. [Istimewa]

Bagi Suara.com, itu adalah musik. 

Musik merupakan bahasa yang universal, dan siapa pun, di mana pun, kapan pun bisa menikmatinya.

Bahkan seorang ahli filsafat asal Jerman, Schopenhauer meletakkan musik di tingkat yang paling tinggi dari bahasa-bahasa universal yang ada.

Bahasa universal yang sering dikenal adalah seni, yang di dalamnya terkandung musik. Schopenhauer juga memandang musik sebagai sarana bagi kita, manusia untuk keluar dari ‘tirani’.

Baca Juga: PlayStation: The Concert, Konser Musik Game Ikonik Epik!

Tentu saja, kita tidak berharap tirani yang dimaksudkan oleh Schopenhauer menjelma dalam tubuh Indonesia.

Atau mungkin, dalam diri pemangku pemerintahan saat ini, yang jangan kan memuaskan, justru sibuk memakan hati rakyat.

PHK di mana-mana, asuransi kesehatan belum terjamin, program makan gratis yang berujung keracunan, hingga RUU TNI yang keberpihakannya meresahkan rakyat.

Rakyat jelas tidak bahagia.  Untuk secuil kebahagiaan, rakyat yang adalah kita, memerlukan musik.

Kita mendengarkan musik ketika bekerja, kita mendengarkan musik ketika bercengkerama.

Kali ini, kita mungkin memerlukan musik sebagai pelipur lara di tengah negara yang tidak baik-baik saja.

OM Lorenza: Bergoyang di Tengah Negara Tidak Baik-Baik Saja

Penampilan OM (Orkes Melayu) Lorenza (YouTube/Mitra Vidio Shooting Jepara)
Penampilan OM (Orkes Melayu) Lorenza (YouTube/Mitra Vidio Shooting Jepara)

Berbicara soal musik adalah berbicara soal selera.

Bila kita berbicara soal selera, kita seringkali berpaku pada genre.

Kemudian, kita akan membuat penggolongan berdasarkan generasi.

Generasi Z menyukai musik yang seperti ini, generasi milenial menyukai musik yang seperti itu, dan seterusnya.

Bagaimana bila ada musik yang hadir untuk dinikmati semua generasi? 

Akankah Anda tertarik untuk menikmatinya?

Bermarkas di Sukoharjo, Jawa Tengah, grup tersebut bernama OM Lorenza/(Orkes Melayu) Lorenza.

Anda sebaiknya tidak terkecoh dengan istilah orkes.

Orkes berbedadari orkestra yang mewakili pertunjukan di dalam ruangan, dengan alunan biola dan gerakan tangan konduktor.

Ada kurangnya pemahaman publik secara mendalam mengenai makna dari orkes dan orkestra.

Dosen Antropologi Seni sekaligus Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada, Gabriel Roosmargo Lono Lastoro Simatupang, atau biasa dipanggil dengan Mas Lono, menjelaskan adanya ‘pengaruh’ kolonialisme di balik penggunaan istilah Orkes Melayu (OM).

“Kalau tafsir saya, di dalam disertasi saya, (penggunaan istilah OM/Orkestra Melayu) itu (mengandung) karakter nasionalistik. Berdasarkan penelusuran saya, istilah tersebut muncul di masa kolonial,” ungkap Lono Simatupang kepada Suara.com, Jumat (7/3/2025) lalu.

Ada dua karakteristik dari orkes. Pertama, menggunakan alat musik non tradisional dan kedua, alat musik dimainkan dengan cara yang berbeda dari orang Eropa.

Sebab ini lah Orkes Melayu berbeda dari Orkestra, yang sampai hari ini masih dinikmati, baik oleh para elite maupun kelas menengah di Indonesia.

“Yang memakai istilah orkes tersebut (ada dua), yaitu Orkes Keroncong dan Orkes Melayu. Kenapa (pertunjukan) gamelan tidak menggunakan sebutan Orkes? Karena istilah Orkes itu digunakan untuk menandai bahwa mereka menggunakan alat musik non tradisional, tetapi cara memainkannya tidak seperti orang Eropa (dalam orkestra) maka disebut dengan Orkes Melayu,” jelas Lono Simatupang.

Bertolak dari sana, penggunaan alat musik dalam OM Lorenza menjadi sebuah karakteristik.

Terutama di tengah masifnya inovasi di dunia musik tanah air, baik melalui ajang pencarian bakat maupun TikTok.

Lalu, OM Lorenza hadir dengan cukup dominan, di tengah perjuangan dan teriakan masyarakat kepada pemerintah Indonesia.

Bukan memajang diri di acara televisi, OM Lorenza terjun ke sendi-sendi masyarakat kecil dan menawarkan pelipur lara yang bermakna meski sederhana.

Sesekali, pemangku jabatan di desa hingga kabupaten turut memeriahkan.

Sesekali pula, OM Lorenza mengisi acara festival alih-alih panggung terbuka.

Namun Lorenza lebih identik dengan acara merakyat, membumi, dan tentunya tanpa menjilat.

Dirangkum oleh Suara.com, ada empat daya tarik OM Lorenza, grup musik yang berhasil menyegarkan media sosial selama beberapa waktu terakhir ini.

Dimulai dari pilihan lagu yang dibawakan hingga alat musik yang digunakan sembari menghibur penonton.

1. Dangdut Tapi Lawas

Penampilan OM (Orkes Melayu) Lorenza bawakan lagu Tambal Ban (YouTube/Mitra Vidio Shooting Jepara)
Penampilan OM (Orkes Melayu) Lorenza bawakan lagu Tambal Ban (YouTube/Mitra Vidio Shooting Jepara)

OM Lorenza sejatinya lahir lebih lama dari viralnya video mereka di media sosial.

Viral pada pembuka 2025, OM Lorenza sudah didirikan oleh Budi Aeromax sejak 2007 lalu.

Tidak tepat bila kemudian popularitas OM Lorenza disandingkan dengan Tiara Andini maupun Mahalini, musisi jebolan Indonesian Idol.

Ataupun grup musik Dewa Dewi yang didirikan oleh Ahmad Dhani pada tahun yang sama.

Momentum, promosi, hingga sasaran yang dimiliki OM Lorenza berbeda dari mereaka.

Datangnya pandemi menjadi titik nadir kesuksesan OM Lorenza.

Memutuskan mengunggah video ke media sosial, eksistensi OM Lorenza meningkat dengan pesat.

Pengguna media sosial menilai OM Lorenza membawa kesegaran di tengah bencana yang terjadi, yang secara mengejutkan terjaga konsisten hingga hari ini.

Genre yang dibawakan sebenarnya bukan genre yang baru, yaitu dangdut. 

Hanya saja, pemilihan lagu lawas dan populer pada tahun 1980-an membuat OM Lorenza disenangi.

Sebut saja, lagu berjudul Tambal Ban yang dirilis oleh Usman Bersaudara pada 1981 lalu.

Lagu yang mengajarkan soal kerja keras dan kesederhanaan ini dihidupkan kembali oleh OM Lorenza dan diperkenalkan ke generasi saat ini, terutama generasi Z yang kemungkinan besar tidak tahu menahu soal Tambal Ban.

Lagu tersebut menjadi hype hingga muncul kesalahpahaman bahwa lagu tersebut adalah ciptaan OM Lorenza.

Selain kesalahpahaman, ada problema penting yang dikesampingkan, bahkan mungkin tidak disadari.

Kepada Suara.com, Ribeth Nurvijayanto, ahli etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mempertanyakan persoalan royalti.

Sebagaimana diketahui, royalti musik menjadi topik paling panas di dunia musik tanah air, dengan para musisi terbentur kepentingan masing-masing.

“Perlu ada catatan untuk digarisbawahi, termasuk royaltinya. Lagu yang digunakan itu kan antah berantah, mengambil (suatu lagu), bagaimana ekosistemnya? OM Lorenza, bagaimana (mengatur persoalan royalti). Viral tapi (ada) hak milik orang lain (dari lagu yang dibawakan),” ujar Ribeth Nurvijayanto.

Suara.com telah mencoba menghubungi OM Lorenza untuk mengadakan wawancara namun belum ada tanggapan yang diberikan.

Sementara itu, melalui penelusuran, Suara.com menemukan bahwa Undang-Undang pertama yang diterbitkan oleh Indonesia terkait Hak Cipta adalah UU No. 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta, setahun setelah lagu Tambal Ban dirilis.

UU tersebut diterbitkan menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda, yaitu Auteurswet 1912.

UU tersebut menetapkan ciptaan musik sebagai ciptaan yang dilindungi hak cipta, bersama tari, baik dengan maupun tanpa teks.

Sayang sekali, tidak ada ketentuan dikhususkan pembayaran royalti ciptaan musik dalam undang-undang tersebut.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021 yang melanjutkan UU Nomor 28 Tahun 2014 (turunan UU No. 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta), dijelaskan bila pembayaran royalti musik dilakukan dengan LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) sebagai perantara.

2. Ketipung Boleh, Nikung Jangan

Alat musik yang digunakan OM (Orkes Melayu) Lorenza (YouTube/Mitra Vidio Shooting Jepara)
Alat musik yang digunakan OM (Orkes Melayu) Lorenza (YouTube/Mitra Vidio Shooting Jepara)

Pada poin kedua ini, OM Lorenza dianggap menarik oleh mereka yang khususnya berdomisili Solo Raya dan Yogyakarta.

Seperti disinggung sebelumnya, OM Lorenza dikategorikan Orkes sebab alat musik yang digunakan adalah alat musik non tradisional.

Alat musik yang digunakan Lorenza adalah gitar, keyboard, dan drum.

Namun ada satu instrumen yang membuatLorenza dianggap sebagai ‘bergenre’ dangdut koplo, yaitu ketipung.

Kehadiran ketipung sekaligus membuat definisi ‘orkes’ bak ditabrak dengan berani oleh OM Lorenza.

Ketipung sendiri merupakan kategori alat musik ‘tradisional’ Indonesia, dengan bentuk seperti gendang namun berukuran lebih kecil.

Selain Jawa, ketipung bisa ditemukan di Riau hingga Kalimantan.

Ketipung biasanya dipukul dengan hentakan yang kuat sembari mengiringi nyanyian, namun lain halnya dengan OM Lorenza.

Hentakan ketipung yang dimiliki OM Lorenza terkesan datar, hingga membuat publik bertanya-tanya, apakah ‘benar’ mereka bergenre koplo.

Secara historis, dangdut koplo sendiri muncul pada 2000-an, dengan ciri khas pada irama yang cepat dan tepukan gendang.

Dangdut koplo dipelopori oleh para musisi Jawa Timur, salah satunya adalah pemain gendang bernama Mas Naryo yang memiliki komunitas kecil di Surabaya.

Pedangdut Inul Daratista dan beberapa OM (Orkes Melayu) juga ditandai sebagai faktor di balik popularitas dangdut koplo.

Lantas, bila OM Lorenza dianggap sebagai bagian dari dangdut koplo, apa aspek lain yang membedakannya dengan Denny Caknan, Happy Asmara, dan Guyon Waton yang menjadi idola kaum muda hari ini?

Jawabannya mungkin saja kembali kepada poin pertama.

OM Lorenza mempertahankan ketipung, namun tidak menggunakan jalan berpotensi ‘menikung’ untuk terkenal.

Ketimbang mengikuti ekosistem yang digunakan Guyon Waton cs, Lorenza berjalan dalam dunianya sendiri.

Meski riskan beradu pada persoalan hak cipta dan royalti, Lorenza tidak menggantungkan diri pada relasi ‘promosi tumpuk’ dengan musisi yang bergenre sama.

Misalnya, OM Lorenza tidak menyanyikan lagu yang sedang viral demi terkenal. Atau pun menitipkan lagu ciptaan kepada musisi yang lebih terkenal demi viral.

“Rasa musikalnya (para pedangdut koplo saat ini) itu sama. Ini ikut ini (pedangdut satu ikut yang lain). Begitu naik daun, yang lain membuat lagu yang sama. Mereka itu seperti agregator, saling melengkapi. Jadi, ‘lagumu ku-cover ya biar bisa booming, nanti aku kecipratan booming’. Jadi saling melengkapi),” jelas Ribeth Nurvijayanto.

“Nah, OM Lorenza ini, siapa yang menciptakan pasarnya ini?” kata Ribeth Nurvijayanto menyambung.

Pertanyaan yang tertinggal adalah ‘siapa yang menciptakan ekosistem’ untuk OM Lorenza, yang berbeda dari Guyon Waton cs?

Apakah OM Lorenza sendiri atau justru ‘kebosanan masyarakat’ atas dangdut hari ini?

3. Fesyen Klasik dan Nostalgik

Gaya pakaian penonton dalam konser OM (Orkes Melayu) Lorenza (YouTube/Mitra Vidio Shooting Jepara)
Gaya pakaian penonton dalam konser OM (Orkes Melayu) Lorenza (YouTube/Mitra Vidio Shooting Jepara)

Ketika berbicara dengan Suara.com, Lono Simatupang sebagai ahli pengkajian seni pertunjukan meletakkan ‘fenomena viralnya dangdut lawas’ oleh OM Lorenza itu ibarat fesyen.

“Itu kayak fesyen,” ucap Lono Simatupang kepada Suara.com.

Kemunculan OM Lorenza diibaratkan dengan kemunculan tren fesyen atau mode yang tidak biasa.

‘Kelainan’ yang dimiliki di tengah banyaknya lagu dan musisi dangdut ini pantas menempatkan OM Lorenza sebagai trendsetter.

Melalui penelusuran Suara.com, istilah trendsetter tidak dicetuskan oleh siapa dan di mana.

Meski secara praktikal, istilah ini lebih berkaitan dengan dunia mode, ketimbang musik.

Satu hal yang menjadikan seorang trendsetter menjadi trendsetter terletak pada hasil dari ‘kelainan’ atau ‘sesuatu tidak biasa’ yang ditawarkan.

Contoh sederhana adalah apakah tren yang ditawarkan diterima dan menjadi terkenal.

“Kalau sesuatu yang sudah populer menjadi terlalu lama, dia (trendsetter) akan membuat sesuatu yang tidak biasa. Dia jadi trendsetter. Dibilang trendsetter ketika dia berhasil mempopulerkan sesuatu yang tidak biasa. Yang lain dari biasa,” ujar Lono Simatupang.

Menariknya, ‘yang tidak biasa’ ini bukan terbatas pada menciptakan yang benar-benar baru, melainkan perihal menghidupkan yang lama.

Aspek kedua ini yang mewakili kehadiran OM Lorenza dengan lagu lawas yang dibawakan, seperti Tambal Ban.

Pembawaan lagu lawas memunculkan kesan nostalgik bagi mereka yang pernah mendengarkan.

Sebut saja, ibu dan bapak yang menikmati waktu remaja dan dewasa kala lagu tersebut dirilis pertama kali.

Lain halnya bagi mereka yang belum pernah mendengar lagu tersebut, tidak ada kesan nostalgik yang diberikan, melainkan pengalaman yang anyar.

Kesan nostalgik yang dihadirkan pun tidak sepenuhnya persis dengan pengalaman yang sama di masa lalu.

“Yang lain dari biasa itu bisa seperti menciptakan yang belum pernah ada atau kembali lagi kepada yang sudah ada. Tapi apakah itu akan sepenuhnya (memberikan pengalaman yang sama) seperti yang lalu? Enggak. Kalau di dunia musik, kultur bunyi (musik) saat ini tidak sama dengan kultur bunyi (musik) tahun 70-an,” beber Lono Simatupang.

“Nostalgik itu adalah pernah mengalami dan mengunjungi pengalaman di masa lalu. Mereka yang bernostalgia adalah yang lahir tahun 70-an bukan 2000-an. Jadi, itu bukan nostalgik (bagi mereka generasi Z),” sambung Lono Simatupang.

Selain lagu, nostalgia yang hadir dalam pertunjukan OM Lorenza adalah pakaian.

Video yang viral memperlihatkan bagaimana personil OM memadukan celana cutbray dengan kemeja kotak-kotak.

Klasik dan nostalgik, dua kata yang tepat menggambarkan selera pakaian OM Lorenza.

Terkadang, mereka memadukannya lagi dengan topi, sepatu boots, dan jaket kulit.

Apa yang dimulai dari personil Orkes merambat ke penonton.

Ikut terbawa suasana, tidak sedikit dari penonton yang memilih pakaian yang selaras demi menonton konser Lorenza.

Padahal beberapa dari mereka tidak pernah hidup pada momentum yang sama ketika pakaian tersebut menjadi ciri khas.

Menurut Lono Simatupang, pakaian tersebut adalah bentuk narasi yang dipilih kemudian OM Lorenza dan menjadi bagian dari karakter mereka.

4. Goyang Tetapi Santun, Mengapa Tidak?

Penonton bergoyang menikmati penampilan OM (Orkes Melayu) Lorenza (YouTube/Mitra Vidio Shooting Jepara)
Penonton bergoyang menikmati penampilan OM (Orkes Melayu) Lorenza (YouTube/Mitra Vidio Shooting Jepara)

Hal terakhir yang menjadi daya tarik OM Lorenza dalam analisis Suara.com adalah goyangan.

Bila diartikan setara dengan tarian, keberadaan goyangan dalam musik dangdut mungkin bukan sekadar hiasan.

Bahkan mungkin saja, goyangan adalah bagian yang tidak terelakkan dalam setiap pertunjukkan dangdut.

Begitu pula dengan pertunjukan yang melibatkan Lorenza, baik itu di wilayah Solo Raya maupun luar Solo Raya.

Namun secara mengejutkan, publik memberikan pujian atas ‘goyangan’ di dalam pertunjukan musik OM Lorenza.

Alih-alih vulgar dan membuat tidak nyaman, goyangan yang dihadirkan atau muncul secara spontan dipuji santun.

Hingga ada yang menyebut Lorenza sebagai ‘dangdut yang santun’.

Pandangan mengenai sebutan ‘dangdut yang santun’ atau ‘dangdut dengan goyangan santu’ ini turut direspons oleh Lono Simatupang.

Dosen Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPSR) Universitas Gadjah Mada ini kemudian mempertanyakan apakah dangdut yang hadir sebelum OM Lorenza benar-benar dipandang ‘tidak santun’.

“(OM Lorenza) disebut menjadi lebih santun atau apa. Apakah yang dulu tidak santun?” tutu Lono Simatupang.

Sulit untuk melihat data statistik pandangan masyarakat Indonesia mengenai dangdut yang dinilai sebagai genre musik dengan pertunjukan yang tidak santun.

Kehadiran goyangan seperti Goyang Ngebor oleh Inul Daratista maupun Goyang Itik oleh Zaskia Gotik tidak serta merta direspons positif.

Raja dangdut Indonesia, Rhoma Irama bahkan pernah memprotes Goyang Ngebor yang dibawakan oleh Inul Daratista.

Saat itu, Goyang Ngebor dipandang mengandung unsur pornografi oleh Rhoma Irama.

Apa yang dimaksudkan goyangan santun oleh  Lorenza tak lain ada pada ritme hingga penggunaan bagian tubuh.

Ritme goyangan sebenarnya menyesuaikan dengan ritme lagu yang dibawakan oleh Lorenza di atas panggung.

Namun bagian tubuh yang digunakan untuk bergoyang, baik oleh penyanyi maupun penonton dinilai tidak memberikan kesan yang vulgar maupun sensitif.

Istilah santun ini kemudian dimunculkan oleh mereka yang menyaksikan. Sisi lain, konsep ‘santun’ bisa jadi merupakan rencana OM Lorenza untuk mewacanakan (menunjukkan) seperti apa mereka sebagai sebuah grup musik dangdut.

Goyangan santun hanya satu bagian dari wacana yang dibentuk Lorenza.

Bagian-bagian lainnya diwakili oleh pakaian, pemilihan lagu, hingga penggunaan alat musik yang berpengaruh pada ritme lagu.

Wacana atau dalam kata lain–narasi–tersebut  yang kemudian menjadikan Lorenza viral dan banyak dicari. Wacana atau narasi tersebut juga berperan besar pada keberlangsungan Lorenza ke depannya.

Sebab tentu saja, jika tidak berhasil mempertahankan wacana yang dimiliki, OM Lorenza bisa berakhir digerus oleh trendsetter-trendsetter yang lainnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI