Suara.com - Eks personel Kerispatih, Doadibadai Hollo atau Badai juga mengeluhkan nasib serupa tentang pembayaran royalti performing rights yang di bawah ekspektasi.
Bedanya dari Denny Chasmala, Badai masih bernasib lebih baik karena mendapat kiriman sampai puluhan juta Rupiah dari lembaga manajemen kolektif (LMK).
"Kalau saya, masih lumayan lah. Yang pasti, tidak ratusan juta (Rupiah) ya. Masih puluhan juta," beber Badai di kawasan Pondok Indah, Jakarta, Selasa (1/4/2025).
Badai juga tidak punya pilihan selain menerima kiriman uang yang ada seperti Denny Chasmala. Tidak ada rincian data yang menyertai bukti pengiriman uang royalti dari LMk.
"Berusaha disesuaikan saja. Ya mau gimana? Kan terus terang, nggak ada laporannya. Transferannya aja nggak ada laporannya, gimana mau tahu?" keluh Badai.
Namun, Badai masih meyakini bahwa hak yang mestinya didapat dari royalti performing rights karya-karya ciptaannya lebih dari yang sudah ia terima saat ini.
"Kalau mau di-collect dari lagu-lagu saya ini, itu nilainya sangat besar, harusnya," klaim Badai.
Pertama, Badai menyinggung pemasukan dari eks bandnya Kerispatih, yang masih rutin membawakan karya-karya ciptaannya semasa masih bergabung dengan mereka.
"Ya mantan band saya aja masih bawain lagu saya sampai sekarang. Itu aja udah ketahuan, berapa yang harus dibayar kalau laporannya bener," kata Badai.
Baca Juga: Cita Citata Bela Agnez Mo, Badai Naik Pitam: Egois, Mikir Panggungnya Sendiri
Kedua, Badai juga membahas pemasukan dari penyanyi-penyanyi lain yang memakai lagu ciptaannya di setiap konser.
"Penyanyi-penyanyi Indonesia yang saya ciptain lagunya, masih beredar di mana-mana. Itu bisa dicek juga berapa," jelas Badai.
Ketiga, Badai sendiri juga masih sering tampil membawakan lagu-lagu ciptaannya, yang tentu ada nilai performing rights-nya juga dari sana.
"Saya main manggung pribadi, meskipun belum banyak, tapi ada, ada yang bisa di-collect," kata Badai.
Keempat, lagu-lagu ciptaan Badai yang biasa diputar di rumah karaoke mestinya juga dikenakan royalti performing rights.
"Belum lagi di karaoke, YouTube. Belum lagi di mana, harusnya untuk performing rights lagu-lagu saya bisa lebih gede daripada digitalnya," tutur Badai.
![Badai di forum diskusi bersama Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) dan perangkat penyelenggara konser di kawasan Senayan, Jakarta, Jumat (28/2/2025). [Suara.com/Adiyoga Priyambodo]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/02/28/92403-badai-di-forum-diskusi-bersama-asosiasi-komposer-seluruh-indonesia-aksi.jpg)
Namun kembali lagi, Badai mau tidak mau harus menerima besaran royalti performing rights yang ia dapat dari LMK saat ini.
"Ya disesuaikan aja, dipuas-puasin aja. Disyukuri intinya," kata Badai.
Satu-satunya cara yang Badai yakini efektif untuk melawan ketidakadilan saat ini adalah dengan tidak mengandalkan LMK lagi sebagai pihak yang selama ini mendistribusikan uang royalti.
"LMK belum punya metode yang memadai untuk penagihan live performance," tegas Badai.
Sebelumnya, Denny Chasmala mendapat sorotan publik gara-gara cuma menerima royalti performing rights sebesar Rp5,2 juta dari seluruh karya ciptaannya.
Padahal, salah satu karya ciptaan Denny Chasmala, Berharap Tak Berpisah sekarang sedang naik daun dan banyak dibawakan oleh penyanyi-penyanyi lain.
"Temen-temen band kafe atau penyanyi yang menyanyikan lagu saya itu banyak. Mereka aja sampai nggak terima saya cuma dapat Rp5,2 juta," kisah Denny Chasmala.
Lagu Berharap Tak Berpisah pun banyak diputar ulang di layanan streaming musik setelah viral lagi di kalangan anak muda. Dari situ, Denny Chasmala harusnya juga mendapat pemasukan.
"Royalti performing rights itu kan sumbernya banyak ya. Ada dari radio, televisi, kafe-kafe, bisa juga dari streaming," jelas Denny Chasmala.
Transparansi LMK dalam mendistribusikan uang royalti performing rights ke para pencipta lagu memang jadi isu lain di balik masalah pemenuhan hak mereka.
Oleh Kunto Aji, LMK bahkan digambarkan layaknya wasit curang dalam sebuah pertandingan sepak bola, yang merugikan salah satu tim.
Masalah utama kisruh perizinan lagu sendiri bermuara dari penerapan dua pasal tumpang tindih dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.