Suara.com - Hamdan Ballal, sutradara asal Palestina, dilaporkan hilang setelah mengalami penganiayaan brutal oleh tentara Israel pada 24 Maret 2025.
Peristiwa yang disorot dunia ini terjadi di desa Ballal, Susiya, yang terletak di kawasan Tepi Barat.
Sebelum diculik, Ballal menjadi korban serangan sekelompok pemukim Israel yang merangsek ke desanya dengan membawa tongkat dan batu.
Dalam serangan tersebut, Ballal menderita luka serius di kepala hingga harus mendapatkan perawatan di ambulans.
Namun, di tengah proses perawatan, tentara Israel tiba-tiba menarik Ballal dari ambulans, memborgol, dan membawanya pergi dalam keadaan mata tertutup.
Hingga kini, keberadaan Ballal masih belum diketahui. Di sisi lain, publik mulai mengecam tentara Israel di media sosial.
Hamdan Ballal merupakan salah satu sutradara di balik kesuksesan "No Other Land," film dokumenter peraih Oscar 2025.
Perjalanan Hidup dan Karier

Hamdan Ballal Al-Huraini lahir pada 1989 di Susiya, sebuah desa kecil di perbukitan Hebron Selatan, Tepi Barat.
Baca Juga: 8 Sejarah yang Dicetak Pemenang Oscar 2025, Jadi Rekor Baru!
Sejak muda, Ballal telah menjalani kehidupan sebagai petani, fotografer, aktivis hak asasi manusia, dan peneliti lapangan.
Dia dikenal karena dedikasinya dalam mendokumentasikan kehidupan sehari-hari di bawah pendudukan Israel dan menjadi suara bagi komunitasnya.
Selain aktivitasnya di bidang advokasi hak asasi manusia, Ballal dikenal luas karena karyanya dalam dunia perfilman.
Balla ikut mengarahkan film dokumenter "No Other Land" bersama Basel Adra, Yuval Abraham and Rachel Szor.
Dokumenter ini menggambarkan perjuangan komunitas Palestina di Masafer Yatta menghadapi upaya pengusiran oleh otoritas dan pemukim Israel.
"No Other Land" mendapatkan apresiasi Internasional, termasuk Piala Oscar untuk Dokumenter Fitur Terbaik di ajang Academy Awards ke-97.
Prestasi ini menempatkan Ballal di panggung dunia sebagai pembuat film yang mampu membawa realitas Palestina ke hadapan publik global.
Aktivisme dan Karya Dokumenter

Sebagai seorang aktivis, Hamdan Ballal aktif dalam proyek Humans of Masafer Yatta, yang menyoroti kisah-kisah pribadi dari wilayah tersebut.
Dia juga menjadi sukarelawan di B'Tselem, sebuah organisasi hak asasi manusia Israel yang mendokumentasikan pelanggaran HAM yang dilakukan dalam pendudukan Israel di Tepi Barat.
Proyek film "No Other Land" digarap Ballal bersama tiga sutradara lainnya selama lima tahun, dari 2019 hingga 2023.
Karya mereka ini berhasil menyampaikan potret mendalam tentang realitas pahit yang dihadapi warga Palestina akibat konflik berkepanjangan.
Ballal dan timnya berusaha menampilkan suara yang jarang terdengar di panggung global, dengan memaparkan ketidakadilan yang dialami komunitas mereka setiap hari.
Kekerasan Berulang dan Hilangnya Ballal

Insiden penganiayaan yang menimpa Hamdan Ballal bukan pertama kalinya terjadi.
Sebelumnya, rekan sesama sutradara, Basel Adra, juga mengalami kekerasan serupa pada Februari 2025.
Pada malam penculikan Ballal, saksi mata melaporkan bahwa sekelompok pemukim bertopeng merusak kendaraan milik Ballal dan para aktivis lain.
Beberapa diantaranya disebut-sebut membawa senjata dan mengenakan seragam Israel.
Mereka memecahkan jendela dan merobek ban kendaraan sebelum melukai Ballal.
Selepas penculikan, tentara Israel mengeluarkan pernyataan yang menuduh Ballal dan dua warga Palestina lainnya melempar batu ke arah pasukan keamanan.
Tuduhan ini dibantah oleh para saksi yang menyatakan bahwa Ballal adalah korban dari serangan yang terjadi di rumahnya sendiri.
Seruan Keadilan untuk Ballal

Kehilangan Hamdan Ballal telah memicu gelombang solidaritas internasional.
Yuval Abraham, salah satu rekan sutradaranya, menulis di media sosial bahwa hingga saat ini belum ada kabar tentang keberadaan Ballal.
Para aktivis dan organisasi hak asasi manusia menuntut transparansi dan keadilan atas penculikan ini.
Sementara dunia menanti kabar tentang nasibnya, karya Ballal dalam "No Other Land" mengingatkan dunia akan ketidakadilan yang dihadapi komunitasnya.
Film ini menjadi bukti nyata bahwa seni bisa menjadi alat perlawanan dan penyampaian kebenaran di tengah penindasan yang terus berlanjut.
Kontributor : Chusnul Chotimah