"Keduanya terlihat saling bertentangan tapi umummnya selama ini saya dan kebanyakan pelaku di Industri musik Indonesia memahaminya bahwa pasal ini tidaklah saling bertentangan, tapi diatur untuk saling melengkapi demi kelancaran atau efisiensi dalam pelaksaan ekonominya," terang Ariel.
Selama ini mekanisme pembayaran royalti dilakukan melalui LMK, yang memang telah diatur dalam undang-undang.
"Jadi selama ini sudah umum bagi para penyanyi untuk menyanyikan langsung sebuah lagu lalu pembayaran kepada pecipta seperti yang sudah diatur dalam pasal 23 yaitu melalui LMK," terangnya.
Menurut Ariel, Sistem ini dinilai lebih sederhana dan langsung, sehingga dapat mengurangi potensi kesalahan atau penyalahgunaan dalam distribusi royalti.
"Saya pribadi masih membutuhkan LMK untuk mengelola hak ekonomi saya sebagai pencipta lagu," ungkap Ariel.

Namun, ketidakpuasan terhadap transparansi dan efektivitas LMK disebut-sebut menjadi alasan munculnya inisiatif direct licensing, yakni pembayaran langsung dari pengguna kepada pencipta lagu.
"Output dari sistem ini belum diuji dalam praktik. Belum ada kepastian mengenai efisiensinya, tarif yang adil, dan pajaknya," tambah Ariel.
Menurutnya, selama ini sistem LMK telah mencakup aspek perpajakan, sehingga jika ada perubahan sistem, maka regulasi mengenai pajak royalti juga perlu diperjelas.
" LMK harus secepatnya memperbaiki kinerjanya," harap Ariel.
Baca Juga: Makin Panas, Ahmad Dhani Sebut Penyanyi yang Tak Minta Izin ke Pencipta Lagu Tukang Nyolong
Selain itu, Ariel juga menyoroti perlunya revisi Undang-Undang Hak Cipta agar lebih sesuai dengan perkembangan industri musik saat ini. Ia menekankan bahwa keterlibatan semua pihak, termasuk musisi, produser, LMK, serta pemerintah, sangat diperlukan dalam proses revisi tersebut.