Banyak yang berpendapat bahwa masalah ekonomi riil seperti penurunan IHSG tidak bisa ditutupi dengan narasi-narasi yang dibuat oleh buzzer.
Sebagaimana diketahui, buzzer sering digunakan untuk menciptakan opini publik yang positif terhadap pemerintah atau kebijakan tertentu.
"Buzzer bisa dikerahkan. Media bisa diarahkan. Pejabat bisa ngeles bilang semua aman terkendali. Tapi market? Nggak bisa dibohongin. Angka nggak bisa direkayasa," tulis seorang netizen.
"Investor nggak akan taruh duitnya di negara yang tiap hari isinya korupsi, bancakan anggaran, dan skandal yang ujung-ujungnya cuma jadi drama," lanjut netien yang sama.

Komentar ini mencerminkan kekecewaan publik terhadap kondisi ekonomi yang dirasakan tidak stabil, serta ketidakpercayaan terhadap upaya-upaya pencitraan yang dianggap tidak substansial.
"Buzzer sekarang udah nggak seramai sebelum Pemilu, apa bayarannya udah turun nilainya?" tambah netizen lain.
Netizen tersebut menyoroti adanya perubahan dinamika di media sosial setelah Pemilu, di mana peran buzzer tampaknya mulai meredup.
Kemungkinan besar karena perubahan anggaran atau fokus dari pihak-pihak yang sebelumnya menggunakan jasa mereka.
Ada pula netizen yang bersikap sinis, "Bisa, nanti buzzer fokusnya bilang, 'Rakyat kebanyakan nggak main saham,' terus bilang, 'Bagus dong kalo investor pada cabut, kita bisa mandiri dan nggak ada intervensi asing.'"
Baca Juga: Apa Itu IHSG? Anjloknya Bikin Heboh, Tapi Prabowo Dulu Cuek Saja: Rakyat Desa Nggak Punya Saham!
Netizen tersebut mengkritik potensi narasi yang mungkin dibangun untuk merasionalisasi penurunan IHSG, dengan mengabaikan dampak negatifnya terhadap perekonomian secara keseluruhan.