Suara.com - Kisruh pembayaran performing rights ke pencipta lagu banyak dikaitkan dengan kegagalan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memberikan kepastian hukum.
Alih-alih menjamin hak pencipta lagu, para pengampu kebijakan malah menghadirkan dua pasal tumpang tindih di Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang jadi akar masalah keributan.
Dua pasal yang dimaksud adalah Pasal 9 dan Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Pasal 9 mengharuskan penyanyi meminta izin dulu ke pencipta lagu sebelum membawakan karyanya. Sedang Pasal 23 ayat (5) tidak mengharuskan perizinan asal penyanyi sudah membayar performing rights ke pencipta lagu.
Penyanyi dan pencipta lagu yang berseteru dibuat bingung dengan penerapan dua pasal yang berbenturan itu.
Pencipta lagu merasa penyanyi harus memenuhi aturan Pasal 9 soal perizinan. Sedang penyanyi mengklaim sudah menunaikan tanggung jawab sesuai ketentuan Pasal 23 ayat (5).
Contoh nyata terjadi dalam perseteruan Once Mekel dan Ahmad Dhani. Once mengklaim sudah menyerahkan jatah performing rights ke Ahmad Dhani lewat Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Sementara LMKN sendiri juga dianggap gagal menjalankan tugas sebagai penyalur performing rights ke para pencipta lagu.
Seperti dalam kasus Ahmad Dhani, yang mengaku belum menerima kiriman uang dari LMKN terkait hak performing rights dari Once Mekel.
Baca Juga: Ahmad Dhani Kasih Contoh Langsung ke Agnez Mo Cara Hargai Pencipta Lagu, Bukan Cuma Ngomong Doang
Masalah yang tak kunjung usai akhirnya membawa 29 musisi yang tergabung dalam Vibrasi Suara Indonesia (VISI), untuk mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK).