Oleh karenanya, David Bayu memilih sistem lama yang memusatkan urusan perizinan dan pembayaran performing rights ke satu pintu.
Namun bukan ke LMKN, David Bayu memasrahkan masalah perizinan dan performing rights lagu-lagu ciptaannya ke pihak publisher yang ia percaya.
"Kalau saya, mending ke publisher gitu. Silakan ke publisher, kalau ada yang mau izin atau apa, sama dia aja gitu. Itu kalau saya ya," jelas David Bayu.
"Ya kalau yang ada yang mau direct juga, ya itu personal option-nya dia juga gitu, pilihannya dia. Tapi kalau saya, mending ke publisher," lanjut eks vokalis Naif.
![David Bayu ditemui di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan, Rabu (12/3/2025) bicara mengenai UU Hak Cipta dan mendukung rekan sesama penyanyi yang tengah berjuang menggugat undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi. [Adiyoga Priyambodo/Suara.com]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/03/12/57133-david-bayu.jpg)
Cerita itu juga yang membawa David Bayu bersama 28 musisi lain dari Vibrasi Suara Indonesia (VISI) mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka berharap, para pengampu kebijakan bisa membuat sistem pembayaran performing rights satu pintu yang lebih baik.
"Kalau bisa, ada pihak yang bisa kami beri trust untuk kami titipkan haknya si pencipta ini. Kami lebih nyaman untuk menjalankan yang seperti itu," jelas David Bayu.
Kalaupun nantinya sistem direct license yang dipilih untuk pembayaran performing rights ke pencipta lagu, David Bayu menghendaki ada aturan yang jelas tentang besaran nominal yang mesti disalurkan.
"Kalau tiba-tiba ngegetok gitu, ya kami bingung juga. Misal lagi habis nyanyiin lagu siapa, terus ditelepon, disuruh bayar sekian puluh juta," kata David Bayu.
Kisruh pembayaran performing rights ke pencipta lagu sejak awal memang berakar dari kegagalan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memberikan kepastian hukum.