Suara.com - David Bayu masuk jajaran 29 musisi yang mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 7 Maret lalu.
Tergabung dalam kelompok Vibrasi Suara Indonesia (VISI), David Bayu ingin pemerintah menetapkan sistem yang jelas dalam pembayaran performing rights ke pencipta lagu.
"Gimana ya bahasanya, gampangnya buat kami para performer ataupun pencipta, fairness atau keadilannya, bijaknya gitu, asiknya, jadi kami sama-sama seneng," ujar David Bayu di kawasan Pondok Labu, Jakarta, Rabu (12/3/2025).
Selama ini, penyanyi dan pencipta lagu dibenturkan dengan dua pasal tumpang tindih di Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yakni Pasal 9 dan Pasal 23 ayat (5).
Pasal 9 menyatakan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta, memiliki hak ekonomi untuk memberikan izin atau melarang pihak lain dalam penggunaan ciptaannya, termasuk dalam pertunjukan atau penyebaran. Secara umum, penggunaan ciptaan memerlukan izin langsung dari pencipta atau pemegang hak cipta.
Namun, Pasal 23 ayat (5) menyebutkan bahwa setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersil ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta, asalkan membayar imbalan kepada pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Ditambah lagi, LMK diduga belum bekerja secara optimal karena banyak pencipta lagu yang mengeluhkan minimnya pendapatan dari performing rights.
Hal itu juga yang kemudian mendorong kelompok musisi yang tergabung dalam Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) untuk menerapkan direct license, dengan tidak lagi mengandalkan LMK sebagai penyalur performing rights.
Yang mana menurut versi David Bayu, kebijakan mandiri dari AKSI malah menimbulkan kebingungan tersendiri bagi para penyanyi.
"Kalau masih belum pasti tapi udah tembak sana-sini, ya kami juga jadi resah gitu. Banyak musisi yang kemudian jadi merasa kayak, 'Ini gue mesti manggung atau gimana nantinya?'," keluh David Bayu.