Makna tersebut diambil dari kata sakatani, pelafalan lain dari empat huruf dalam bahasa Arab yang digunakan oleh Sukatani dalam logonya.
- 23 Februari 2025
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengambil langkah yang humoris. Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo justru merayu jabatan 'Duta Polri' kepada Sukatani.
Rayuan semacam ini bukan kali pertama dilakukan oleh pemegang kekuasaan di Indonesia. Rayuan semacam ini juga tidak dipandang sebagai langkah yang baik oleh publik, melainkan 'cara lain' dari penguasa untuk mengendalikan kebebasan.
Linimasa di atas merupakan secuil aspek dari problema perampasan hak berekspresi/hak berkesenian yang dialami oleh Sukatani. Penarikan lagu Bayar Bayar Bayar milik Sukatani juga merupakan satu dari rentetan perampasan hak berkesenian oleh negara, oleh mereka yang memegang kekuasaan di ibu pertiwi, Indonesia.
Kini, satu per satu pertanyaan muncul.
Mengapa hak berkesenian dirampas, dilucuti perlahan demi perlahan oleh negara?
Atau mungkin kita balik menjadi, mengapa negara melucuti hak masyarakat untuk berkesenian?
Apa yang ditakuti oleh penguasa--yang dalam hal ini adalah 'pemangku negara', hak atas berkesenian atau seni itu sendiri?
Kita bisa meminjam pandangan beberapa tokoh soal seni. Sebut saja, filsuf asal Yunani, Aristoteles yang memandang seni sebagai 'tiruan' atas dunia manusia.
Baca Juga: Alasan Novi Vokalis Band Sukatani Dipecat Jadi Guru Terungkap, Disebut Melanggar Kode Etik
Ketika karya seni hadir merepresentasikan 'realitas' di ibu pertiwi, muncul bintik-bintik di tubuh penguasa. Mereka merasa gatal, namun mereka tidak pergi berobat.