Ketika Cu Li jatuh sakit, Nyonya M. melakukan segalanya. Ia berlari menuju rumah temannya yang seorang dokter, memohon untuk menyelamatkan Cu Li. Seolah bila Cu Li mati, ia akan mati.
Nyonya M. begitu mencintai Cu Li, itu hal yang pasti. Namun terkadang, cinta mati pun tidak bisa menyelamatkan apa yang sudah mati di dalam diri kita, dalam diri Nyonya M.
Ada sesuatu yang telah mati di dalam diri Nyonya M., yang selain ditolak untuk diakui, dicoba untuk dihidupkan kembali. Sesuatu yang tidak mati hanya karena kematian suami, namun karena 'keterasingan bersama suami' yang dirasakan Nyonya M. kala tinggal di luar negeri.
Di situ lah trauma bisa ditemukan. Trauma yang tidak disadari, terus dikekang, dan berakhir diwariskan. Trauma yang ditutupi dengan tafsiran bahwa semuanya seharusnya baik-baik saja karena 'saya baik-baik saja'.
Nyonya M. mewariskan trauma yang dialaminya kepada sang keponakan perempuan. Jeratan tidak diberikan dengan cara yang kasar, namun diselimuti dengan ajaran bagaimana bertindak selayaknya orang dewasa.
Ketika menemukan keponakannya hamil dan memilih menikah di usia muda, Nyonya M. tidak marah karena dibohongi. Ia marah karena diingatkan akan dirinya sendiri. Ia marah karena ia menatap traumanya sendiri.
Ia berlari ke pelukan Cu Li, menumpahkan keresahan yang membeku, dan berharap warisan suaminya tersebut dapat mencairkan suasana. Namun apa yang bisa dilakukan oleh seorang primata untuk manusia selain bertatapan mata?
Cu Li tidak pernah menangis, Cu Li tidak mampu untuk menangis. Sebab Nyonya M., yang hidup dengan menatap ke kedua mata Cu Li, tidak menangis.

Pelarian Tak Pernah Sia-Sia
Baca Juga: Review Jujur Dark Nuns: Film Horor Kok Bikin Ngantuk
Menurut saya, bagian yang paling menarik dari Cu Li Never Cries adalah penggambaran trauma yang kabur. Anda tidak tahu harus memulai berlari dari mana.