Suara.com - Apa yang terbesit dalam pikiran saya, kala adegan pertama dalam film ini ditampilkan adalah bagaimana saya akan bertahan.
Saya tidak mengatakan bahwa film hitam putih adalah ide yang buruk, namun film hitam putih tidak diperuntukkan semua orang. Lagipula ini bukan lah Cassablanca (1942) ataupun Tiga Dara (1956).
Cu Li Never Cries juga bukan The Scent of Green Papaya (1993), yang masih dipuja hingga hari ini. Meski tidak bisa ditampik bila kesuksesan The Scent of Green Papaya dipengaruhi besar oleh produksi yang dilaksanakan di Perancis.
The Scent of Green Papaya adalah 'pintu', langkah awal bagi kita yang ingin menjajaki sinema Vietnam dengan mudah dan lebih dekat dari segi usia.
Baca Juga: Review Jujur Dark Nuns: Film Horor Kok Bikin Ngantuk
Status sosial dan romantisme menyatu dalam film ini. Tentu saja, visualisasi warna dalam menggambarkan situasi sehari-hari dalam rumah yang sama, membuat film non hitam putih ini jatuh dengan begitu indah.
The Scent of Green Papaya adalah sebuah ketenangan. Namun Cu Li Never Cries adalah sebuah ketidakberdayaan, yang membuat Anda bertanya-tanya selama satu jam ke depan, apakah akan ada ketenangan di sana?

Sudut Asia yang Kelam
Jika Barat berbicara mengenai Asia, mereka akan menyebut China--atau kini Korea, berkat BTS dan BLAKCPINK. Atau mungkin Singapura, sang Raja Asia Tenggara.
Vietnam, seperti halnya Indonesia, jarang sekali disebut sebagai yang pertama. Kecuali bila mereka memiliki keterikatan darah atau refugee dengan Negeri Naga Biru tersebut.
Baca Juga: Review Film Perayaan Mati Rasa: Saat Musik dan Luka Berpadu dalam Simfoni
Vietnam masih berada di pojokan meski banyak hal dari negeri ini lebih baik daripada tanah air kita, Indonesia. Ada sisi kelam di negeri ini, yang kemudian divisualisasikan oleh Pham Ngoc Lan, sutradara Cu Li Never Cries bersama penulis naskah Nghiem Quynh Trang.
Sisi kelam tersebut adalah kemiskinan. Vietnam sebenarnya patut berbangga diri karena berhasil keluar dari bayang-bayang negara termiskin yang disematkan untuknya pada 1990 lalu. Per 2022, data menunjukkan 4,2 persen masyarakat Vietnam hidup di bawah garis kemiskinan nasional.
Walaupun data menunjukkan perkembangan yang lebih baik, tidak ada yang bisa mengalahkan perpaduan antara kemiskinan dan kematian. Perpaduan ini yang menjadi titik awal dalam film Cu Li Never Cries.

Nyonya M. memutuskan kembali ke Vietnam usai suaminya meninggal dunia. Sosok suami yang menjelma menjadi asing dalam keterasingan yang mereka hadapi di luar Vietnam.
Terseok-seok dan terhimpit di antara gang-gang gelap, Nyonya M. mengangkat koper dan menemukan rumah yang ditinggalinya bersama seorang keponakan perempuan. Meski tidak gamblang, rumah tersebut bukan lah rumah orang kaya yang dihiasi porselen ataupun bangku miliaran VND.
Rumah ini berisi anak-anak yang berjejer tidak beraturan, yang diasuh oleh keponakan Nyonya M. yang menyandang disabilitas. Tersembunyi di balik tanah yang kumuh, rumah ini berdiri dengan kokoh, mungkin sekokoh pendirian Nyonya M. untuk mempertahankan warisan suaminya.
Satu warisan adalah abu yang disimpan dengan aman di atas rak. Warisan yang lain adalah Cu Li, kukang kerdil (sejenis primata yang bisa ditemukan di Vietnam) yang pernah menjadi peliharaan suami Nyonya M.
Dan memang benar, Cu Li tidak pernah menangis. Bahkan ketika perayaan atas kematian tuannya tidak pernah diupayakan seusai Nyonya M. kembali ke rumah.
Antara Primata dan Trauma
Cu Li adalah ikrar, yang dipersembahkan Nyonya M. untuk mengikat ketidakrelaan atas kematian suami yang tidak pernah diakui. Dia menatap dan membayangi hari-hari Nyonya M.
Dia dipelihara sebagaimana Nyonya M. memelihara dirinya sendiri. Dia diberi makan sebagaimana Nyonya M. menyediakan makanan untuk dirinya sendiri. Dia dicintai sebagaimana Nyonya M. terjebak dalam pusaran mencintai diri sendiri usai kehilangan suami.
Ketika Cu Li jatuh sakit, Nyonya M. melakukan segalanya. Ia berlari menuju rumah temannya yang seorang dokter, memohon untuk menyelamatkan Cu Li. Seolah bila Cu Li mati, ia akan mati.
Nyonya M. begitu mencintai Cu Li, itu hal yang pasti. Namun terkadang, cinta mati pun tidak bisa menyelamatkan apa yang sudah mati di dalam diri kita, dalam diri Nyonya M.
Ada sesuatu yang telah mati di dalam diri Nyonya M., yang selain ditolak untuk diakui, dicoba untuk dihidupkan kembali. Sesuatu yang tidak mati hanya karena kematian suami, namun karena 'keterasingan bersama suami' yang dirasakan Nyonya M. kala tinggal di luar negeri.
Di situ lah trauma bisa ditemukan. Trauma yang tidak disadari, terus dikekang, dan berakhir diwariskan. Trauma yang ditutupi dengan tafsiran bahwa semuanya seharusnya baik-baik saja karena 'saya baik-baik saja'.
Nyonya M. mewariskan trauma yang dialaminya kepada sang keponakan perempuan. Jeratan tidak diberikan dengan cara yang kasar, namun diselimuti dengan ajaran bagaimana bertindak selayaknya orang dewasa.
Ketika menemukan keponakannya hamil dan memilih menikah di usia muda, Nyonya M. tidak marah karena dibohongi. Ia marah karena diingatkan akan dirinya sendiri. Ia marah karena ia menatap traumanya sendiri.
Ia berlari ke pelukan Cu Li, menumpahkan keresahan yang membeku, dan berharap warisan suaminya tersebut dapat mencairkan suasana. Namun apa yang bisa dilakukan oleh seorang primata untuk manusia selain bertatapan mata?
Cu Li tidak pernah menangis, Cu Li tidak mampu untuk menangis. Sebab Nyonya M., yang hidup dengan menatap ke kedua mata Cu Li, tidak menangis.

Pelarian Tak Pernah Sia-Sia
Menurut saya, bagian yang paling menarik dari Cu Li Never Cries adalah penggambaran trauma yang kabur. Anda tidak tahu harus memulai berlari dari mana.
Melalui adegan-adegan hitam putih, Anda bisa menyadari bahwa trauma itu ada di sana. Anda bisa menemukan trauma itu hidup di antara Nyonya M. dan keponakannya, Nyonya M. dan Cu Li, ataupun Nyonya M. dan suaminya yang telah mati.
Bahkan Anda bisa menemukan trauma itu hidup di antara Nyonya M. dan seorang pria muda beramput pirang. Kehadiran pria muda beramput pirang ini sempat membuat saya tergocek dan penasaran dengan hubungan apa yang mereka miliki.
Pria ini adalah seorang pelayan di sebuah kafe para lansia yang kerap dikunjungi Nyonya M. Menyaksikan kesendirian Nyonya M., pria ini menemani perempuan paruh baya yang tengah mengarungi pelarian tersebut.
Ia memandu Nyonya M., menari bersama, berbicara dan bertatapan mata, dan dekat dengan Cu Li. Apapun itu--hubungan yang mereka miliki terasa begitu spontan dan tidak intensional.
Pada salah satu adegan, Nyonya M. meminta pria ini menemaninya hadir dalam pernikahan sang keponakan. Namun pria ini menolak dan mempertanyakan kejelasan soal 'hubungan yang mereka jalani'.
Saya pun bertanya, hubungan apa? Untungnya, Pham Ngoc Lan sebagai sutradara bersedia berbagi dengan saya soal pandangan mengenai cinta.
Kepada Suara.com, Pham Ngoc Lan tidak mengutarakan secara lugas mengenai hubungan Nyonya M. dan pria muda berambut pirang. Menurut Pham, hidup adalah sesuatu yang kompleks.
"Pada film ini, saya menunjukkan betapa kompleksnya kehidupan. Saya percaya bahwa hidup itu kompleks dan kita tidak bisa membatasi diri kita pada satu kesimpulan (yang sama)," tutur Pham Ngoc Lan dalam acara Alternativa Film Awars and Festival 2024 di XXI Empire, Yogyakarta pada Minggu (27/11/2024) lalu.
"Keindahan di balik hubungan mereka (Nyonya M.) dan pria muda berambut pirang) adalah bahwa hubungan mereka akan selalu menjadi misteri. Mereka tidak benar-benar memahami satu sama lain atau bagaimana mengekspresikan perasaan mereka. Menurutku di kehidupan sehari-hari, cinta itu adalah kesatuan dari banyak hal. Cinta tidak hadir dalam sekejap, terkadang memerlukan waktu. Aku sangat mengagumi kompleksitas seperti ini," katanya menyambung.
Pria muda berambut pirang dalam film ini berakhir meninggalkan Nyonya M. namun perannya tidak akan tergantikan. Ia adalah pelarian yang tidak sia-sia.

Bagaimana Mengucapkan Perpisahan
Nyonya M. ingin mempertahankan Cu Li yang semakin hari semakin sekarat. Namun keponakannya tidak menyukai kehadiran Cu Li di rumah mereka.
Cu Li adalah obat afrodisiak bagi Nyonya M., alasan untuk bertahan. Namun bagi keponakannya, Cu Li tak lebih dari seekor kukang kerdil yang sakit-sakitan.
Keponakannya tahu bahwa penyakit yang ada di tubuh Cu Li itu bukan penyakit fisik. Itu adalah rasa sakit yang dialami oleh jiwa Nyonya M. yang dititipkan dan disimpan rapat di tubuh Cu Li.
Keponakannya tahu bahwa kehadiran Cu Li tidak akan menyembuhkan apa yang salah di rumah mereka. Ia meminta Nyonya M. untuk memilih antara dirinya dan Cu Li.
Bagi seseorang dengan trauma seperti Nyonya M., yang dikekang dengan pandangan bahwa generasi tua tahu segalanya, permintaan tersebut adalah permintaan yang kurang ajar. Ibarat Nyonya M. diminta untuk 'mengusir' suaminya sendiri.
Nyonya M. tak mampu kehilangan Cu Li, apalagi dengan cara yang diminta sang keponakan, yang menurutnya tidak berperasaan. Keponakannya menolak menghirup udara yang sama, dalam rumah yang sama dengan Cu Li dan menurutnya itu adalah pandangan yang masuk akal.
Kali ini, ketika menatap layar, Anda tidak dihadapkan pada pertarungan antara Nyonya M. dan keponakannya. Anda berhadapan dengan pertarungan antara generasi tua dan generasi muda, antara seseorang yang berduka atas kematian suami dan seseorang yang siap menyambut kelahiran anak di dalam kandungan.
Anda berhadapan dengan pecakapan antara seseorang yang berkabung dalam kabut yang sama terus-menerus dan seseorang yang mendambakan nafas yang baru. Anda berhadapan dengan seseorang yang memeluk trauma dalam dirinya karena itu alasan untuk bertahan dan seseorang yang menolak trauma tersebut diwariskan kepadanya dan anak-anaknya.
Trauma transgenerasional, kita menyebutnya. Jenis trauma ini sangat berbahaya karena selain mampu merusak jiwa seseorang, ia akan merusak jiwa satu keluarga.
Menurut saya, tidak ada manusia yang 100 persen bersedia memberi kesempatan kepada orang lain untuk menyentuh trauma di dalam dirinya. Apalagi berkuasa untuk menentukan bagaimana cara mereka menghadapi trauma tersebut. Saya rasa, itu yang dirasakan Nyonya M. pada awalnya.
Hingga pelarian sejenak yang dilakukan Nyonya M. ke dalam pelukan dansa pria muda beramput pirang tidak berakhir sia-sia. Kembali ditinggalkan membuat Nyonya M. merenungkan apa yang sebenarnya perlu dipertahankan.
Nyonya M. memilih mempertahankan keluarga yang dibangun bersama keponakannya, bukan bersama Cu Li. Bukan karena Cu Li adalah seekor primata dan keponakannya adalah manusia, melainkan karena Cu Li sudah sakit dan Nyonya M. berhak untuk tidak mempertahankan apa yang sakit di dalam keluarganya.
Tahu kah Anda bagaimana Nyonya M. mengucapkan perpisahan kepada Cu Li? Nyonya M. meninggalkan Cu Li di tempat dia ditinggalkan oleh pria muda beramput pirang. Ia meninggalkan Cu Li di sana.
Kini, saya tahu mengapa film berjudul asli Cu Li Không Bao Gi Khóc ini ditayangkan Festival Film Internasional Berlin 2024. Karya Pham Ngoc Lan ini kelam dan menggelitik--serta tidak diperuntukkan semua orang.