Suara.com - Yang telah direnggut tak bisa dikembalikan. Pemerkosa tetap Pemerkosa, yang diperkosa tetap Yang Diperkosa.
Kutipan dari cerita pendek Azul Maya karya Laksmi Pamuntjak ini selaras dengan pantulan realitas yang disampaikan oleh film Madina. Realitas yang tersirat untuk disangkal, bahwa 'rumah' adalah tempat pelarian paling aman bagi manusia.
Namun, baik Indonesia dengan ketidakmampuan memisahkan agama dan politik; serta Kazakhstan dengan kebanggaan atas sekularisme masih dibuat tidak berdaya dengan 'kekerasan seksual'. Para penyintas--para korban, masih meraba-raba ke mana mereka harus berlari.
Madina bisa dibilang tayangan yang spesial dalam Alternativa Film Awards and Festival (AFAF) 2024 di Yogyakarta, Indonesia. Film berdurasi satu jam 17 menit ini mewakili tanah kelahiran AFAF, Kazakhstan.
Baca Juga: Review Film Pengantin Setan, Inikah Rasanya Jadi Istri yang Dicintai Jin?
Datang dari Asia Tengah, Madina memvisualisasikan topik yang sejatinya tidak baru. Perempuan sebagai penyintas kekerasan seksual, kuasa laki-laki atas tubuh perempuan, batas emosi yang besar dengan anggota keluarga, hingga pekerjaan yang tidak menjanjikan.
Problema-problema tersebut dikemas dalam bengisnya musim dingin di Kazakhstan. Titik ini lah yang kemudian menempatkan Madina sebagai sebuah sinema yang menguras emosi secara perlahan, dengan cara yang dingin dan tidak tertahankan.
Penonton akan dibawa masuk ke dalam tubuh berkecamuk dari seorang perempuan bernama Madina. Seorang ibu dengan satu anak perempuan, seorang cucu yang mengabdi atas emosi tidak stabil neneknya, hingga seorang kakak bagi pria tidak banyak bicara yang hanya ingin menghasilkan uang.
Bagi Madina, pernikahan bukan lah jaminan. Kekerasan yang diterima dari ayah putrinya menyisakan trauma pada tubuhnya, tubuh yang tidak dibuat girang dan makmur oleh sentuhan laki-laki lain.
Saat seorang pria mapan beristri muncul, Madina mencoba menyerahkan tubuhnya demi meredakan sedikit penderitaan finansial keluarga. Namun kehangatan harta menolak menjadi rumah pelarian baginya, meski semu dan sementara.
Baca Juga: Ulasan 'Dirty Laundry', Aksi Komedi Nanon dan Film yang Bikin Sakit Perut
Rutinitas Madina adalah rutinitas seorang pencari nafkah. Ia menari untuk mengobati tamu-tamu pria yang jenuh di malam hari. Kala pagi dan siang, ia hanya seorang guru yang berdansa bersama para perempuan yang mencari penghiburan dan pelarian.
Tetapi pelarian mereka bukan pelarian Madina. Tarian yang diajarkan, disalahpahami sebagai gerakan erotis yang berujung pada kekerasan baru yang diterima Madina.
Visualisasi yang menarik di sini adalah bagaimana timpangnya pandangan antara perempuan dan laki-laki. Kesenangan perempuan seringkali menjadi bakal bagi laki-laki untuk merendahkan, mengobjektifikasi, dan melakukan kekerasan.
Laki-laki menempatkan diri mereka sebagai makhluk yang memiliki kuasa atas perempuan, terutama tubuh perempuan. Sementara perempuan 'dipaksa' untuk menempatkan diri sebagai seorang 'penerima', dan begitu lah yang dilakukan oleh Madina kala itu.
Tanpa protes, Madina pulang ke rumah dan berlari ke pelukan buah hatinya. Namun putrinya yang baru berusia dua tahun bertanya soal luka yang ada di wajahnya dan Madina pun menangis.
Ia tidak menangis untuk dirinya sendiri, atau goresan yang merusak kesempurnaan wajahya. Ia menangis untuk putrinya, yang bahkan tidak memperoleh pengakuan secara hukum oleh ayahnya sendiri.
Bagaimana ia harus menghadapi dirinya sendiri, sebagai seorang ibu tunggal yang mengalami kekerasan? Mungkin pertanyaan tersebut yang terbenam dalam pikiran Madina setiap kali ia termenung.
Karakter Madina dalam film ini memperlihatkan bahwa menjadi ibu tunggal bukan sekadar persoalan peran ganda. Menjadi ibu tunggal berarti menyisihkan emosi yang menghantui kehidupanmu demi menyambung kehidupan putrimu.
Menjadi ibu tunggal memposisikan Madina sebagai sosok yang berupaya memastikan putrinya hidup dengan aman, secara finansial maupun emosional. Meski harus dibayar dengan mengabaikan luka-luka kekerasan seksual.
Madina melanjutkan hidupnya dalam keheningan, hingga keheningan tersebut dibuyarkan oleh pengakuan mengiris hati dari sang adik. Adik laki-lakinya adalah seorang penyintas kekerasan seksual seperti Madina.
Kekerasan seksual diterima ketika adiknya masih belia dari seorang pria yang disebut sebagai keluarga. Kekerasan tersebut diketahui oleh neneknya dan neneknya memilih bungkam selama bertahun-tahun.
Pada titik ini lah, character development dari Madina menjadi semakin menarik. Alih-alih bertapa dalam keheningan, Madina memperjuangkan keadilan untuk adiknya.
Madina mempermalukan sepupunya (pelaku kekerasan seksual) di depan istri yang baru dinikahi, anggota-anggota keluarga yang bersulang, dan tamu undangan yang datang untuk bersenang-senang.
Madina tidak memperlakukan adiknya seperti ia memperlakukan dirinya sendiri. Madina memastikan adiknya bisa berlari ke pelukan seorang kakak dan berlindung di sana. Madina bersuara atas apa yang tidak bisa disuarakan oleh adiknya.
Seperti kata pepatah, kita bisa diam ketika orang lain menyakiti kita, namun tidak dengan menyakiti orang yang kita cintai.
Garis cerita dalam film Madina dipaparkan dengan detail sebab jiwanya berada di sana. Respons yang diberikan oleh karakter utama maupun karakter pendukung, dalam menyikapi kekerasan seksual adalah pantulan dari realitas itu sendiri.
Ada yang diam, ada yang menerima, dan ada yang pura-pura tidak mengetahuinya. Ada yang melanjutkan hidup tanpa tahu ke mana harus berlari, dan ada yang menawarkan kehangatan kala tak menemukan rumah pelarian untuk diri sendiri.
Realitas yang lain adalah bahwa kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapapun dan dilakukan oleh siapapun. Mengapa disebut realitas? Sebab film ini mengambil kisah nyata dari aktris utama Madina, Madina Akylbekova.
Madina Akylbekova menjelaskan bahwa memerankan karakternya sendiri sebagai seorang penyintas kekerasan seksual, melibatkan emosi-emosi pribadi. Namun emosi-emosi tersebut berhasil ditempatkan dengan tepat, sesuai dengan pesan yang dibawa oleh film ini.
"Ini bukan tentang aku. Ini tentang banyak perempuan, yang bisa kita dukung, yang bisa kita beri keberanian untuk bersuara," terang Madina Akylbekova kepada Suara.com pada Minggu (24/11/2024) lalu.
Pengambilan gambar serta penataan emosi pun tidak bisa dipisahkan dari peran sang sutradara sekaligus sahabat Madina, Aizhan Kassymbekova. Sedari awal, Aizhan menetapkan batas bagi Madina sebagai seorang pemilik kisah dan seorang karakter.
"Aku memperlakukan Madina sebagai seorang sutradara, bukan seorang teman (ketika mengarahkan adegan)," ungkap Aizhan.
Walaupun begitu, Madina sebagai pemilik kisah turut diizinkan menyertakan putri kandungnya di dalam film. Berakting dengan putri sendiri menjadi bagian tersulit bagi Madina.
"Adegan pertama adalah ketika aku harus berakting dengan putriku. Kemudian ada adegan di mana aku berenang di dalam lautan dan mencoba melepaskan emosi yang ada. Itu adalah dua adegan tersulit yang kulakukan," sambung Madina.
Film Madina tidak membawa pulang penghargaan dalam agenda Alternativa Film Awards and Festival ke-2 di Yogyakarta. Namun film ini meraih sejumlah penghargaan dalam ajang lain.
Madina memenangkan Best Narrative Feature Award di Philadelphia Asian American Film Festival dan Special Recognition di VC Film Fest. Madina sempat dimasukkan ke dalam Official Selection di Tokyo International Film Festival dan Los Angeles Asian Pacific Film Festival.
Film ini menjadi film panjang kedua Aizhan Kassymbekova usai Fire (2021) lalu dan dibiayai secara independen. Sementara Madina Akylbekova pernah membintangi ToyiHana (2021).
Film ini direkomendasikan untuk kawan-kawan Suara.com yang berkecimpung/memiliki ketertarikan pada isu kekerasan seksual. Tisu sekaligus direkomendasikan untuk disiapkan sebelum menikmati Madina.