Bird of A Different Feather: Mengoyak Tabir Pendidikan Inklusif dalam 95 Menit

Jum'at, 10 Januari 2025 | 16:13 WIB
Bird of A Different Feather: Mengoyak Tabir Pendidikan Inklusif dalam 95 Menit
Karakter Sonia dalam film Bird of A Different Feather (Konanur Productions)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pernahkah berhenti dan bertanya, seperti apa dunia pendidikan yang kita impikan? Apakah itu dunia dengan sapuan rona yang serupa, yang berjalan bak boneka-boneka yang dikendalikan oleh tangan pemilik kuasa?

Atau, apakah itu dunia dengan lebih banyak warna, yang mungkin datang dengan cara yang 'tidak sempurna',  dan mendambakan masa depan yang sama?

Pertanyaan ini lah yang dititipkan oleh Manohara K. dalam film keempatnya, Bird of A Different Feather

Film Bird of A Differen Feather, pemenang Spotlight Award dalam ajang Alternativa Film Awards and Festival 2024 (Instagram/alternativa_film)
Film Bird of A Different Feather, pemenang Spotlight Award dalam ajang Alternativa Film Awards and Festival 2024 (Instagram/alternativa_film)

Dari Kannada ke Indonesia

Baca Juga: Review Film Wicked, Ketika Penyihir Juga Punya Kisah untuk Didengar

Bird of A Different Feather adalah judul internasional dari kolaborasi terbaru Sutradara Manohara K. dan Produser Konanur Productions, Prithvi Konanur. Judul asli film ini adalah Mikka Bannada Hakki.

Mikka Bannada Hakki dalam bahasa Kannada (bahasa yang digunakan oleh masyarakat India Selatan) memiliki makna yang visioner, yaitu 'burung dengan banyak warna'. 

Kemudian ketika diboyong oleh Alternativa Film Awards and Festival (AFAF) dari India ke Yogyakarta, keputusan untuk menggunakan judul yang lebih global diambil. Meski memiliki arti yang sedikit berbeda, kedua judul mewakili satu problema yang sama, yaitu keresahan atas dunia pendidikan yang tidak inklusif.

"Judul ini (Bird of A Different Feather) dipilih karena dinilai paling dekat dari judul asli (Mikka Bannada Hakki)," ujar Prithvi Konanur dalam sesi diskusi AFAF 2024, dikutip oleh Suara.com.

  • Sinopsis

Secara garis besar, Bird of A Different Feather menceritakan Sonia, seorang gadis albino dari keluarga miskin yang hidup bersama diskriminasi dan intimidasi. Keterbatasan finansial orang tua mencederai impian Sonia sebagai siswa biasa, yang menjalani hari-hari di sekolah dengan penuh tawa.

Baca Juga: Sinopsis Identity, Film India Terbaru Tovino Thomas dan Trisha Krishnan

Ibunya tidak mampu memberikan sepasang sepatu baru meski Sonia telah memohon. Ibunya hanya seorang perempuan yang menyambung hidup dari pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dengan uang tidak seberapa.

Sementara Ayahnya adalah seorang penjual kacang tanah. Sesekali ia bekerja keras dengan berkeliling, dan kali lain diisi dengan tidur di pinggir jalan usai dibuai nikmatnya alkohol.

Sonia memiliki seorang adik laki-laki. Namun terkadang, kehadiran adik menyakiti Sonia sebab ejekan soal albinisme terlontar dengan polos.

Terasa sakit di rumah, lebih sakit di sekolah. Alih-alih diperlakukan khusus sesuai kondisi fisik yang dimiliki, Sonia harus berhadapan dengan perundungan dari teman sekelas hingga tenaga pendidik.

  • Sinematografi

Meyaksikan Bird of A Different Feather sejatinya tidak membawa penonton ke dalam dunia yang berbeda dari Indonesia. Kecuali jika penonton menghabiskan sebagian besar hidup dalam gelimang harta dan kemewahan gedung pencakar langit.

Faktor utama adalah kemiskinan. Meski secara statistik, Indonesia lebih kaya dari Indonesia dilihat dari pendapatan per kapita. 

Film ini menggambarkan kemiskinan dengan realis, mulai dari rumah yang tidak dibangun sempurna dan terkesan dipaksa untuk diterima dengan seadanya. Hingga lingkungan kumuh dan adegan berebut tempat duduk saat menaiki transportasi umum.

Pengambilan gambar dari dekat dalam beberapa adegan berhasil menunjukkan kerapuhan dari karakter utama Sonia. Namun pandangan ini tidak kemudian mengkerdilkan bagaimana detail dalam pengambilan gambar dalam ruang yang kompleks ditata dengan cukup rapi.

Misalnya, dalam adegan Sonia melakukan stand up comedy dengan disaksikan teman satu sekolah dan para guru. Penonton bisa merasakan perubahan emosi yang terjadi ketika uji coba tersebut menjelma menjadi keberhasilan dan penerimaan diri.

Prithvi Konanur, produser film Bird of A Different Feather dan Gernata Titi, perwakilan dari SALAM (Istimewa)
Prithvi Konanur, produser film Bird of A Different Feather dan Gernata Titi, perwakilan dari SALAM (Istimewa)

Bayang-Bayang Kemiskinan dan Eksklusivitas Pendidikan

Memfokuskan analisis pada faktor kemiskinan mungkin terkesan tidak adil bagi keistimewaan fisik yang dimiliki oleh Sonia. Namun mau tidak mau diakui, baik India maupun Indonesia menghadapi masalah yang serupa, di mana kemiskinan menjadi tabir bagi sebagian kalangan untuk mengakses pendidikan.

Hanya mereka yang kaya yang bisa mengakses pendidikan dengan leluasa. Pendidikan di sekolah A, B, maupun C hanya diperuntukkan mereka yang berasal dari keluarga dengan kebebasan finansial.

Itu lah yang dialami oleh Sonia. Ketidakmampuan Sonia untuk memiliki sepatu membuka pintu intimidasi dan tidak mau tahu dari tenaga pendidik di sekolah.

Intimidasi kemudian diiringi dengan keengganan untuk mempelajari bahwa pengajaran yang tepat yang diberikan kepada Sonia, 'seharusnya' dilakukan dengan cara yang lebih inklusif.

  • Support System dan Sekolah Alternatif 

Inklusivitas secara konsisten menjadi hal yang terus dipelajari, dikembangkan, dan direalisasikan dalam dalam pendidikan hingga hari ini. Berbicara soal inklusivitas pendidikan bisa dimulai dari berbicara soal sistem pendidikan.

Dewasa ini, sistem pendidikan di dunia semakin digandrungi dengan munculnya sekolah-sekolah alternatif, yang menawarkan kurikulum, penjelasan teori, hingga praktik yang dinstingtif dari sekolah formal/pemerintah.

Prithvi Konanur selaku produser Bird of A Different Feather menerangkan bahwa ia menemukan beberapa sekolah alternatif yang ada di Indonesia.

"Saya tidak tahu mengenai (sekolah alternatif) di Indonesia, namun saya menemukan beberapa (sekolah serupa) di India, dengan pembelajaran yang interaktif dengan alam," ujar Prithvi, pada penayangan film Bird of A Different Feather di Empire XXI Yogyakarta, Indonesia, Jumat (22/11/2024) lalu.

"Mereka (para siswa) tidak hanya belajar soal (mata pelajaran yang biasa diajarkan), namun juga seperti apa rasanya mendapatkan support system ketika belajar," kata Prithvi menyambung.

Sekolah alternatif--seperti namanya, merupakan alternatif yang ditawarkan para pejuang pendidikan dri sekolah 'tradisional'. Sekolah ini tidak hanya mengasah siswa untuk berpikir secara mandiri namun melibatkan kedekatan 'emosional' yang jarang diperoleh di sekolah formal.

Sekolah alternatif juga membuka potensi bagi mereka dengan kebutuhan khusus, untuk mendapatkan akses pendidikan yang lebih setara ketimbang sekolah formal.

Poster film Bird of A Different Feather/Mikka Bannada Hakki (IMDb)
Poster film Bird of A Different Feather/Mikka Bannada Hakki (IMDb)
  • Albinisme dan Pendidikan yang Inklusif

Hadir membersamai Prithvi Konanur, perwakilan dari SALAM (Sanggar Anak Alam) turut memberikan ulasan yang optimistis dan hopeful atas masa depan pendidikan. Gernana Titi mengulas bahwa Bird of A Different Feather bisa menjadi pemantik untuk kesadaran yang lebih atas kepentingan pendidikan yang inklusif.

"Saya senang karena dengan film seperti ini, kita bisa merasakan itu, membuka kesadaran lebih luas. Kesadaran terutama pada anak berkebutuhan khusus," tutur Titi.

Menciptakan sekolah dikhususkan mereka dengan albinisme adalah pekerjaan yang sulit. Namun memulai tabir pembatas antara mereka dengan albinisme dan tanpa albinisme bisa menjadi langkah awal.

Melalui film karya Manohara K. ini, inklusivitas dalam pendidikan tidak sekadar dipahami berkaitan dengan kesetaraan. Namun perlu diiringi dengan pemahaman dan kesediaan untuk belajar dan mendengarkan.

Jika guru menolak untuk mendengarkan apa yang sebenarnya dibutuhkan siswa dengan kebutuhan khusus, pendidikan yang diajarkan pun tetap terhambat untuk tersampaikan.

Pada akhirnya, pendidikan akan hidup untuk mereka yang mampu merayakan, dan mati bagi mereka yang tidak diberi kesempatan.

Mengapa Anda Harus Menonton Film Ini?

Bird of A Different Feather/Mikka Bannada Hakki adalah sinema semi-dokumenter yang tidak serta merta memposisikan Anda sebagai Sonia. 

Meski Anda bukan Sonia, Anda bisa terserap ke dalam realitas bahwa kehidupan tidak semudah yang diharapkan, dan Anda bisa kehilangan kesempatan di tengah perjalanan.

Pendidikan hanya satu lapisan yang mewakili ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang mungkin Anda temukan di dalam keluarga, lingkaran pertemanan, hingga lingkup pekerjaan. 

Film ini bisa saja membuat Anda bosan, namun meninggalkan beribu pertanyaan ketika layar dimatikan. Berduasi 95 menit, kisah Sonia ini sebaiknya dinikmati dalam keadaan kenyang, sebab ia tidak akan membawa Anda lari dari tuntutan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI