![Crocodile Tears. [Instagram/talamedia_co]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/12/06/86457-crocodile-tears.jpg)
Tumpal Tampubolon sebagai sutradara Crocodile Tears mengungkapkan inspirasi pembuatannya berawal ketika dirinya menonton soal dokumenter buaya.
"Untuk inspirasinya karena suatu hari saya nonton dokumenter soal buaya terus ada bagian ibu buaya mindahin anaknya karena mau dicaplok predator lain. Caranya dimasukin ke rahangnya, waktu itu saya nonton serem kok, tapi juga lembut," ucap Tumpal dalam screening spesial film tersebut.
"Ya ambiguitas itu kaya campuran rasa teror tapi juga lembut, itu buat saya 'oh mungkin cinta itu kaya gitu ya'. Terus cinta ibu ke anaknya mungkin juga kaya itu. Nah, itu yang menjadi inspirasi saya pakai metafor buaya," sambungnya.
Yang menarik adalah pemilihan judul di film ini. Crocodile Tears yang berarti air mata buaya ini banyak merujuk perumpaan sebagai tangisan palsu.
Faktanya adalah buaya memang menangis ketika menyantap mangsanya karena di sisi lain, buaya juga menggigit anaknya untuk melindungi anak.
Hal tersebut yang seakan dibangun oleh Tumpal untuk membangun karakter Mama sangat protektif kepada Johan.
Cinta dalam Berbagai Wujud
![Crocodile Tears. [IMDb]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/12/06/36081-crocodile-tears.jpg)
Crocodile Tears juga mengeksplorasi berbagai jenis cinta dan hubungan."Memang setiap karakter punya niche, punya keinginan yang menjadi pilihan hidup mereka di hidup ini," kata produser Crocodile Tears, Mandy Marahimin.
Dalam film ini, cinta hadir dalam bentuk yang beragam. Cinta seorang ibu yang posesif, cinta romantis yang tumbuh antara Johan dan Arumi, hingga cinta yang mendalam terhadap kehidupan itu sendiri.
Baca Juga: Pendidikan Bernadya yang Borong 3 Piala di AMI Awards 2024, Pernah Ambil Jurusan Film
Menariknya, meski konflik utama melibatkan kehamilan, Mandy mengutarakan bahwa filim ini tidak terlibat dalam perdebatan pro-life versus pro-choice.