Suara.com - Kegelisahan akan nilai-nilai berbangsa dan bernegara, menjadi tema utama yang diangkat oleh Indonesia Kita dalam pementasannya ke-42.
Uniknya, tema nasionalisme ini mengangkat judul yang menggiring para penonton untuk membayangkan akan mendapatkan sajian cerita horor. Judul lakon kali ini yang ditulis oleh Agus Noor dan Joind Bayuwinanda, adalah “Si Manis Jembatan Merah”.
Disutradarai oleh Agus Noor, pementasan yang didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini ditampilkan di Teater Besar Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 27 dan 28 September 2024.
Tampil para aktor dan aktris andalan Indonesia Kita, yaitu Butet Kartaredjasa, Cak Lontong, Akbar Kobar, Abdel Achrian, Inaya Wahid, Sha Ine Febriyanti, Bude Sumiarsih, Marwoto, Susilo Nugroho, Joened, dan Wisben.
Baca Juga: Seniman Kamoro Lawatan Budaya Ke Jawa Tengah, Kenalkan Budaya Pesisir Selatan Papua
Pertunjukan ini diiringi musik dari Orkes Sinten Remen dan dimeriahkan oleh para penari dari DvK Art Movement.
Pertunjukan Si Manis Jembatan Merah ini mengisahkan keberadaan sebuah jembatan di suatu kota yang memiliki nilai sejarah penting bagi penduduk di situ. Ada berbagai kenangan yang melekat di jembatan tersebut.
Dari kenangan veteran perang yang kerap menziarahi jembatan yang pernah dipertahankannya dari serangan musuh, kaum-kaum terpinggirkan yang menggunakan jembatan itu sebagai rumah mereka, hingga keberadaan hantu perempuan yang konon kerap menangis.
Konflik warga terjadi ketika muncul kabar jembatan merah akan dirubuhkan untuk digantikan jembatan lintasan bagi kereta super cepat. Ketika banyak orang mulai jatuh sakit dan bahkan mati, muncul rumor bahwa penunggu jembatan merah meminta tumbal.
Dalam tulisan pengantarnya, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid menyampaikan bahwa Si Manis Jembatan Merah karya Agus Noor mengajak kita melihat kembali sejarah sebagai cermin untuk melihat kondisi saat ini.
Betapa jauh kesenjangan antara apa yang dibayangkan saat awal kemerdekaan dulu dengan apa yang kita lihat sekarang. Kesenjangan itu menciptakan ruang, dan dalam ruang itulah kita bisa melakukan refleksi tentang apa yang salah dalam perjalanan kita sebagai bangsa.
"Gagal mempertahankan jembatan ini maka seluruh kota akan dikuasai oleh musuh dan cita-cita kemerdekaan terancam kandas. Apakah kita mampu menjaga titik yang penting ini? Dalam refleksi terhadap kehidupan kita sekarang, ada banyak Jembatan Merah yang gagal kita pertahankan, ada banyak Jembatan Merah yang harus kita jaga agar tidak semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan,” tulis Hilmar Farid.
Seturut dengan pernyataan Hilmar Farid dalam kata pengantarnya, Agus Noor sebagai penulis naskah dan sutradara, menyatakan bahwa lakon ini memang sengaja mengambil mitos bernuansa horor tentang penunggu sebuah jembatan untuk mengajak penonton memahami makna di balik kisah yang dipertunjukkan.
"Jembatan Merah ini adalah sebuah simbol dari sebuah monumen yang menandai perjuangan rakyat dalam mencapai kemerdekaannya. Di balik tengara (landmark) jembatan ini, ada kisah-kisah di masa lalu yang dinamakan sejarah. Saya rasa saat ini, kita sedikit demi sedikit, secara tidak sadar mulai melupakan atau terlupa akan sejarah republik ini. Bukannya tanpa alasan jika kehadiran sosok si manis yang menangisi jembatan merah ini, adalah perasaan yang tak tersampaikan dan terungkap dari mereka yang telah menyiapkan kehidupan yang kita jalani saat ini,” ujar Agus Noor.
Bagi Butet Kartaredjasa, sebagai salah satu pendiri Indonesia Kita, menyatakan apresiasi dan syukur atas dukungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan pementasan terbaru di tahun 2024 ini.
Sehingga tepat rasanya jika dalam pentas ke-42 ini, tim Indonesia Kita mengangkat kisah yang bertema kebangsaan.
“Perjalanan Indonesia Kita telah begitu lama dalam menumbuhkan dan memperkuat rasa ke-Indonesiaan bagi para publik seni pertunjukan tanah air melalui pementasan-pementasan kami. Tentu saja pekerjaan ini tidak bisa dikatakan selesai. Dari waktu ke waktu, kami harus terus menyuguhkan lakon-lakon yang terus mengingatkan publik tentang betapa kita jangan pernah lelah mencintai Indonesia. Saya berterima kasih bahwa misi kami didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia,” ujar Butet Kartaredjasa.