Suara.com - Sosok pedangdut Machica Mochtar dan anak semata wayangnya, Muhammad Iqbal Ramadhan, mendadak menjadi sorotan publik usai hiruk-pikuk aksi demo Kawal Putusan MK.
Perbincangan mengenai Machica Mochtar dan Iqbal Ramadhan mengungkap kembali kasus lama yang melahirkan perubahan terkait Undang-Undang Perkawinan (UUP).
Pedangdut senior itu pernah mempersoalkan UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010. Ia meminta Mahkamah Konstitusi untuk menguji ulang materi di dalamnya, terutama Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1.
Tujuan perempuan bernama asli Aisyah Mochtar itu adalah untuk menetapkan status hubungan antara Iqbal Ramadhan dengan ayah kandungnya, Jenderal TNI Moerdiono di era Presiden Soeharto.
Baca Juga: Ketakutan Terbesar di Hidup Iqbal Ramadhan, Ternyata Bukan Perkara Tertangkap Aparat
Sementara pasal tersebut memuat anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu biologis serta keluarganya.
Diketahui, Iqbal Ramadhan merupakan anak hasil pernikahan siri antara Machica Mochtar dengan Moerdiono pada 20 Desember 1993 silam. Namun, sang anak dianggap tidak berhubungan dengan sang ayah karena tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
Hal itu membuat Moerdiono sebagai ayah kandung tidak memiliki kewajiban untuk menanggung biaya pengasuhan anak. Di lain sisi, Iqbal Ramadhan juga tidak mendapat hak waris dari ayahnya.
"Pemohon mengalami kerugian materi atau finansial, yaitu harus menanggung biaya untuk pengasuhan dan pemeliharaan anak," tutur kuasa hukum Machica, Rusdianto, kepada wartawan kala itu.
Pada kasus ini, apa peran Mahfud MD?
Baca Juga: 8 Potret Iqbal Ramadhan Anak Machica Mochtar yang Hidup Jauh dari Kemewahan
Mahfud MD menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi ketika Machica mempersoalkan UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ke MK pada 2010.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) tersebut menemukan jalan keluar dari Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU Perkawinan tentang prinsip-prinsip perkawinan.
Setelah menguji ulang materi, penalaran hukum sampai pada pemaknaan baru MK atas Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan.
Pada akhirnya, anak yang dilahirkan hasil di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan ayahnya berserta keluarganya yang dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang sah di mata hukum.
Dilansir dari laman Hukum Online, Mahfud MD memberi klarifikasi bahwa pengartian baru dari putusan tersebut tidak termasuk anak hasil zina.
Itu hanya berlaku bagi anak yang lahir dari pernikahan yang tidak dicatatkan secara negara.
Kasus mengenai Machica Mochtar ini tercantum dalam uraian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.