Suara.com - Ayu Ting Ting dipastikan batal menikah dengan Muhammad Fardana. Menurut biduan asal Depok ini, batalnya pernikahan mereka disebabkan persoalan prinsip, meski dia tak menyebutnya secara detail.
Ayu Tin Ting batal menikah setelah sebelumnya melangsungkan lamaran. Di dalam syariat Islam, tahapan tersebut disebut khitbah.
Lantas apa hukumnya di Islam, jika pernikahan batal meski sudah lamaran?
Dilansir dari laman NU Online, tujuan khitbah adalah untuk menambah pengenalan dan pengetahuan antara calon suami dan istri. Calon suami dibolehkan mencari tahu lebih jauh tentang prilaku, watak, dan sifat calon istrinya, begitu pun sebaliknya.
Baca Juga: Ayu Ting Ting Dinilai Lebih Dewasa dan Bijak Usai Beberkan Alasan Batalkan Pertunangannya
Dengan khitbah, kedua calon pasangan dapat melanjutkan ke jenjang pernikahan atas perasaan sempurna dan yakin. Ini karena keduanya sudah saling mengenal pribadi masing-masing.
Kendati begitu, sering ditemui di masyarakat, khitbah tak berjalan sesuai semestinya. Bahkan, risiko terburuk pernikahan batal digelar.
Khitbah tak bisa dianggap sama dengan nikah, demikian dikatakan oleh Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqhul Islami wa Adillatuh. Menurutnya, khitbah dan nikah punya komponen dan juga ketentuan berbeda.
“Melihat bahwasanya khitbah tidak bisa dikatakan akad nikah, dan khitbah hanyalah sebatas janji untuk menikah, maka menurut mayoritas ulama, bagi mempelai pria yang melamar dan wanita yang dilamar boleh untuk berubah pikiran dari lamarannya (janji nikahnya, red)"," demikian kata Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili di dalam kitabnya.
Kendati begitu, lanjut Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili masih dalam kitabnya, alangkah baiknya bagi salah satunya untuk tidak merusak janji.
"Kecuali dalam keadaan yang mendesak, atau kebutuhan yang sangat. (Hal itu) demi menjaga kehormatan keluarga dan kemuliaan wanita," katanya.
Hal ini senada dengan perkataan Imam Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar. Imam Zakaria mengatakan bahwa kalangan ulama Syafi’iyah sepakat, sunnah hukumnya menepati janji, selagi tidak berupa janji yang dilarang, tentu jika tidak ditepati akan berkonsekuensi pada hukum makruh dan menghilangkan keutamaannya.
Lantas timbul pertanyaan, apakah boleh meminta kembali barang atau seserahan yang sudah diberikan calon suami pada istrinya jika mereka batal menikah?
Menurut Syekh Wahbah az-Zuhaili, hal itu boleh dilakukan. Jika barang yang pernah diberikan dalam keadaan rusak, calon suami juga boleh meminta nominalnya.
"Jika (barang yang diberikan) sudah hilang atau rusak, maka ia boleh meminta nominal harganya, bila barang yang diberikan berupa mutaqawam (barang yang hitungannya menggunakan nominal harga), dan meminta dengan ganti barang serupa bila yang diberikan adalah mitsli (barang yang hitungannya dengan ditimbang atau ditakar, seperti beras, dan lainnya)," katanya dalam kitab al-Fiqhul Islami wa Adillatuh.