Sejarah Penyematan Gelar Haji di Indonesia, Atta Halilintar Bangga Dipanggil "Pak Haji"

Yazir Farouk Suara.Com
Jum'at, 21 Juni 2024 | 14:28 WIB
Sejarah Penyematan Gelar Haji di Indonesia, Atta Halilintar Bangga Dipanggil "Pak Haji"
Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah tiba di Tanah Suci untuk ibadah haji (Instagram/@attahalilintar)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Atta Halilintar dan istrinya, Aurel Hermansyah baru saja tiba di Tanah Air usai 12 hari menunaikan ibadah haji di Tanah Suci.

Sayangnya, Atta Halilintar langsung kena cibir netizen. Ini karena dia mengumumkan sendiri kalau dirinya telah bergelar haji. Atta menyebut dirinya "Pak Haji" dalam unggahan terbarunya di Instagram.

Mereka yang mencibir mengatakan harusnya gelar haji bukan diberikan sendiri, melainkan orang lain. Atta Halilintar juga dinilai sombong karena seolah minta dipanggil haji.

Sebenarnya, apakah boleh memberikan gelar haji di depan nama? Bagaimana sejarahnya penyematan nama haji untuk mereka yang sudah menunaikan Rukun Islam ke-5 itu?

Baca Juga: Kris Dayanti Masih Pantas Punya Baby, Cara Asuh Anak Atta Aurel Dipuji Selangit

Dilansir dari laman Kemenag.go.id, tradisi meletakkan gelar "Haji" atau "Hajjah" di depan nama sah-sah saja dilakukan di Indonesia. Ini yang dikatakan oleh filolog dari UIN Syarif Hidayatulllah, Oman Fathurahman atau Kang Oman. Pada saat artikel tersebut terbit di laman Kemenag pada 24 Juli 2019, Kang Oman berstatus Staf Ahli Menteri Agama.

Ada alasan yang melatarbelakangi kewajaran penyematan nama Haji atau Hajjah di depan nama. Salah satunya adalah sejak masa silam, perjalanan menuju Tanah Suci bagi orang Nusantara adalah perjuangan berat tersendiri, harus mengarungi lautan, menerjang badai berbulan-bulan, menghindari perompak, hingga menjelajah gurun pasir.

Karenanya, seseorang yang berhasil melewati ujian tersebut lalu selamat sampai Tanah Air, dinilai mendapat anugerah dan kehormatan. Terlebih, Kakbah adalah kiblat suci umat Islam sedunia.

Sementara, Antropolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi mengatakan, ada tiga perspektif mengenai penyematan gelar haji.

Perspektif pertama terkait keagamaan. Disebutkan Dadi bahwa haji merupakan perjalanan untuk menyepurnakan rukun Islam. Haji menjadi sebuah perjalanan ibadah yang semakin penting dan tak semua orang bisa dilakukan mengingat perjalanan yang jauh dan panjang, persyaratan tak mudah, dan biaya mahal.

Baca Juga: Detik-Detik Atta-Aurel Sentuh Multazam dan Cium Hajar Aswad, Sukses Bikin Netizen Merinding

“Untuk itulah gelar Haji dianggap layak dan terus disematkan bagi mereka yang berhasil melakukannya,” ujarnya.

Perspektif kedua terkait kultural. Selama berhaji, banyak narasi dan cerita-cerita menarik serta heroik, terus berkembang jadi cerita popular. Sehingga, makin banyak juga orang yang tertarik naik haji.

“Hal-hal inilah saya kira yang membuat ibadah haji semakin penting dan gelar haji di Indonesia punya nilai dan status sosial yang tinggi,” kata Dadi.

Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah ibadah haji (Instagram/@attahalilintar)
Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah ibadah haji (Instagram/@attahalilintar)

Terakhir, bisa dilihat dari perspektif kolonial. Menurut Dadi, penyematan gelar haji dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Mereka yang pulang dari ibadah haji dikhawatirkan membuat gerakan anti-penjajahan. Karena itu, pemerintah kolonial Belanda membatasi jamaah haji dengan berbagai cara.

Salah satu caranya, dengan membuka Konsulat Jenderal pertama di Arabia pada 1872 yang tugasnya mencatat pergerakan jamaah haji dari Hindia Belanda. Mereka juga diharus memakai gelar haji atau atribut pakaian haji biar mudah dikenali dan tentu saja diawasi.

“Itu dari perspektif kolonial. Padahal menurut Snouck Hurgronje, yang meneliti haji, saat itu, jemaah haji tidak layak ditakuti sebagai anti-penjajah,” ujar Dadi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI