Suara.com - Pandji Pragiwaksono mengambil keputusan besar. Komika 44 tahun itu memboyong keluarganya pindah ke New York, Amerika Serikat.
Hijrahnya Pandji Pragiwaksono ke Amerika Serikat bukan tanpa sebab. Ini berkaitan dengan kariernya sebagai Stand Up Comedian di Negeri Jiran tersebut.
Pindah negara, tentunya bukan perkara mudah bagi Pandji Pragiwaksono. Sutradara film Partikelir ini bahkan tak menampik harus hidup ngirit.
"Wow, luar biasa irit sekali kami. Anak anak juga kadang ngerasa 'kenapa sih gini banget kita hidup'," kata Pandji Pragiwaksono ditemui di kawasan Mampang, Jakarta Selatan belum lama ini.
Lalu, seperti apa cerita Pandji Pragiwaksono yang hijrah ke Amerika untuk melanjutkan karier sebagai stand up comedian? Berikut wawancara selengkapnya.
Kenapa akhirnya memutuskan pindah?
Secara industri jauh lebih maju karena kan kesenian stand up kemudian akhirnya emang di New York. Comedy Club' pertama adanya di situ dan terkenal juga di situ.
Secara persaingan gimana? Seberapa sulit stand up comedy di luar negeri?
Persaingannya lebih berat. Mungkin buat saya sih saya happy aja bisa membangun karier di tempat di mana komedi dilahirkan. Yang pasti jadi satu satunya orang Indonesia.
Baca Juga: Interview: Cerita Vina Panduwinata Dirikan Yayasan Kanker
Sudah gelar show belum di sana?
Belum sih, kalau gelar show belum. Kalau dipanggil job iya. Karena saya masih baru hitungannya. Jadi, mungkin karena banyak yang lihat saya, terus udah gitu saya dirasa lucu, jadi saya dapet kesempatan.
Konsep Stand Up Comedy di Amerika seperti apa?
Ada dua jenis acara stand up. Acara stand up yang digelar oleh Comedy Club sama acara stand up yang digelar oleh sesama stand up comedian.
Nah yang sesama comedian ini biasanya di cafe, di bar. Terus saya banyaknya dipanggil ke situ. Karena mungkin mereka liat saya open mic, terus mereka pikir, 'Boleh juga nih si Pandji, gua ajaklah'. Tapi, masih jauhlah. Masih kecil.
Penyesuaian banget dong dengan budaya di sana?
Betul. Pertama secara bahasa rumit ya. Bahasa inggris saya sih gak jelek-jelek amat. Tapi tetap mikir gitu pas mau ngomong, bukan bahasa sendiri tuh. Tapi yang paling berat adalah menyesuaikan gaya joke yang lebih suka dikunyah oleh orang new York. Kayak kalau di Indonesia, saya kan banyak cerita tuh, panjang, panjang, punchline gitu.
Kalau di sana tuh pengennya cepet. Karena mereka sudah terbiasa nonton stand up kan. Jadi mereka duduk, udah gak usah basi basi, 'Lucunya mana?' gitu. Jadi taste nya lebih cepet gitu. Nah menyesuaikan itu, menyatukan referensi. Itu yang membuat prosesnya panjang banget untuk menyesuaikan.
Contoh stand up di Amerika itu kayak gimana?
Ya yang secara referensi cocok aja gitu, kayak saya punya beat tentang poligami. Beatnya kan sebenernya cuma, 'Saya gak pengen punya poligami bukan cuma karena gak pengen punya banyak istri, tapi gak pengen punya banyak mertua'. Nah itu mereka ngerti tuh, 'Banyak mertua pasti nyebelin tuh'. Jadi kalau referensinya cocok, saya alih bahasa.
Kesulitan bukan hanya di sisi karier, tapi juga keluarga. Nah memboyong keluarga gimana?
Sudah. Anak saya sudah pindah, anak saya sekolah di sana yang gede SMA, kalau yang cewek SMP, sekolah negeri di sana, istri saya juga di sana. Keluarga saya udah di New York, mereka pindah dari September tahun lalu.
Kenapa bawa keluarga ke sana?
Gue nggak kuat tinggal lama-lama berjauhan dari anak dan istri. Istri juga sebenarnya emang dari lama udah bercita-cita bisa hidup di luar negeri.
Gimana bertahan hidup di Amerika, ngirit juga nggak sih?
Wow, luar biasa irit sekali kami. Anak anak juga kadang ngerasa 'kenapa sih gini banget kita hidup'. Karena ya beda hidup di sana sama di sini. Orang kan biasanya nyari duit di Amerika, pulang ke Indonesia, nilainya kan gede tuh. Saya terbalik, dari Indonesia dibawa ke sana, jadinya menyusut. Kebayang dong?
Kalo sudah begini, berasa kadang, kok gue egois ya?
Banget, banget. Setiap hari itu saya mempertanyakan ke diri saya sendiri sih, ngapain ya gua ngelakuin ini? Tapi waktu itu gua pernah kayak ragu, merasa ngapain gua di sini (New York), terus istri gua ngingetin, 'kamu harus ingat kalau aku sama anak anak kamu itu udah berkorban loh untuk kamu, nggak setengah setengah, masa kita udah berkorban terus gagal?' jadi saya berpikir, bener juga nggak boleh gagal.